
Readtimes.id– Di tengah perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) menyoroti masih terbelenggunya kebebasan akademik di tanah air.
Dalam studi kualitatif yang dilakukan April–Juli 2025, TII mencatat ada 86 kasus pelanggaran kebebasan akademik di perguruan tinggi Indonesia sejak 2019 hingga pertengahan Juli 2025. Dari jumlah tersebut, kasus yang paling dominan berkaitan dengan kritik terhadap kebijakan negara (35 kasus), disusul kritik terhadap kebijakan kampus (15 kasus) dan pejabat negara (13 kasus).
“Catatan studi TII sejalan dengan Indeks Kebebasan Akademik dari Varieties of Democracy (V-Dem) Project yang diperbarui tahun 2025, di mana Indonesia hanya memperoleh skor 0,59 dari skala 1. Tantangan terbesar ada pada indikator integritas perguruan tinggi serta ekspresi akademik dan budaya,” jelas Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif TII dalam keterangan tertulis, Minggu (17/8).
Pelanggaran Dominan dari Pejabat Kampus
Studi TII juga mengungkap pelanggaran paling banyak dialami oleh mahasiswa (44 kasus), disusul lembaga kemahasiswaan (18 kasus) dan dosen (12 kasus). Menariknya, pelaku justru banyak berasal dari pejabat kampus (42 kasus) dan aparat penegak hukum (25 kasus).
“Hal ini menunjukkan tantangan serius dalam penegakan hukum. Bagaimana kebebasan akademik bisa terlindungi, jika pelanggarnya adalah pihak-pihak yang seharusnya menjadi pelindung?” tegas Adinda.
Kasus-kasus tersebut didominasi tindakan represi, kekerasan fisik, kriminalisasi, hingga sanksi administrasi. Banyak pula kasus yang tidak ditindaklanjuti secara jelas.
Rekomendasi TII
Untuk memperbaiki kondisi kebebasan akademik, TII mengajukan sejumlah rekomendasi kebijakan. Rekomendasi pertama adalah mendorong adanya peraturan khusus mengenai kebebasan akademik atau melakukan amandemen terhadap aturan yang sudah ada melalui kerja sama antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dengan Komnas HAM.
Selanjutnya, TII menekankan pentingnya penyusunan standar operasional prosedur (SOP) dan perlindungan di kampus. Hal ini termasuk revisi atau bahkan penghapusan aturan pemilihan rektor yang saat ini memberikan 35 persen suara kepada kementerian.
Rekomendasi lain adalah peningkatan kapasitas aparat dan birokrasi kampus agar memiliki perspektif hukum, HAM, serta kebebasan akademik yang lebih kuat. Selain itu, TII mendorong adanya perbaikan penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran kebebasan akademik, baik yang terjadi di ruang daring maupun luring.
TII juga menilai perlu adanya revisi terhadap sejumlah undang-undang, seperti UU ITE, KUHP, dan KUHAP, untuk memastikan perlindungan hukum yang lebih jelas bagi kebebasan akademik. Terakhir, dibutuhkan pembentukan sistem pemantauan kebebasan akademik oleh Kemendiktisaintek, Komnas HAM, dan Ombudsman RI dengan dukungan dari organisasi masyarakat sipil.
Adinda menegaskan, tanpa perlindungan nyata terhadap sivitas akademika, perguruan tinggi akan sulit menjalankan peran strategisnya dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
“Jika kampus tidak aman bagi kebebasan akademik, maka slogan kemerdekaan tahun ini, Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju, hanya akan menjadi jargon belaka,” pungkasnya.
Editor: Ramdha Mawaddha