
Readtimes.id– Ini sudah kesekian kalinya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor digugat. Mayoritas dilakukan napi korupsi yang mencari jalan mudah untuk bebas dari penjara dan sisanya adalah DPR , bahkan ketika PP tersebut baru saja diterbitkan.
Juli 2013 misalnya, sejumlah napi korupsi didampingi advokat kondang Yusril Ihza Mahendra menguji PP tersebut ke Mahkamah Agung (MA). Menurut mereka, persyaratan Justice Collaborator (JC) yang tercantum dalam PP tersebut sebagai syarat mendapatkan remisi adalah peraturan yang mengada-ada. Namun, langkah mereka terhenti ketika MA menolaknya.
Masih di tahun yang sama, publik digegerkan kembali dengan surat Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso yang ditujukan pada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berisi permintaan ratusan koruptor mengenai revisi Peraturan Pemerintah tentang PP No.99 tersebut. Namun, lagi-lagi gagal karena pemerintah saat itu secara tegas menyatakan PP tersebut tetap berlaku.
Namun jalan terang bagi para penggugat PP tersebut mulai terlihat ketika rezim berganti, dimana pada Maret 2015 Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengeluarkan pertimbangan untuk merevisi peraturan tersebut.
Remisi difokuskan pada pertimbangan Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam pemberian remisi yang kemudian diusulkan cukup dengan pertimbangan Menkumham. Menurut Yasonna saat itu terdapat diskriminasi dalam praktik pemberian remisi antara napi korupsi yang perkaranya ditangani Kejaksaan dan kepolisian,dengan yang ditangani oleh KPK.
Begitu pula tahun berikutnya yaitu 2016, tepatnya pada 11 April , Komisi III DPR RI dan Menkumham juga akhirnya bersepakat melonggarkan syarat menjadi JC dalam pemberian remisi. Kendati demikian hal itu gagal ketika publik menolak revisi tersebut.
Baca Juga : Penghapusan Justice Collaborator dan Titik Nadir Pemberantasan Korupsi
Berlanjut 2019, revisi undang-undang pemasyarakatan untuk mencabut PP No. 99/2012 kembali mencuat namun kembali surut, hingga akhirnya 28 Oktober 2021 MA dengan hakim ketua Supandi mengabulkan uji materi sejumlah pasal yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang diajukan oleh Subowo dan empat orang lainnya yang merupakan kepala desa serta warga binaan Lapas Kelas I Sukamiskin.
Pakar hukum pidana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin, memandang hal ini terjadi karena selain kehadiran PP tersebut yang meresahkan para pelaku korupsi yang juga memiliki jaringan ke penguasa. Di lain sisi, korupsi juga belum dipahami sebagai sebuah kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.

“Karena jika dipahami sebagai kejahatan luar biasa, maka tentu mereka paham penanganannya pun membutuhkan aturan serta usaha yang luar biasa pula, “ terangnya pada readtimes.id.
Selain itu, Ketua Asosiasi Prodi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) ini memandang PP Nomor 99/2012 terkait pengetatan syarat pemberian remisi merupakan kebijakan yang dilematis. Meski efektif untuk mencegah pemberian remisi secara cuma-cuma namun undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan secara tegas mengatur bahwa remisi adalah hak semua narapidana.
Menyoal ini, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dalam wawancaranya bersama media sehari pasca dikabulkannya gugatan PP Nomor 99/2012 oleh MA mendorong pemerintah dan DPR membuat undang-undang (UU) yang mengatur pengetatan remisi pada narapidana korupsi agar ada efek jera.
“Nah, maka sebaiknya memang saran saya, kalau mau dilakukan pengurasan atau pembatasan untuk remisi koruptor, maka diatur oleh undang-undang, bukan diatur oleh peraturan pemerintah. Nanti kalau diatur undang-undang, maka sah karena disetujui rakyat melalui DPR,” ujarnya.
Selain itu menurutnya, meski Justice Collaborator telah dihapuskan namun ke depan masyarakat masih dapat menempuh jalur hukum melalui gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ketika pemberian remisi dinilai tidak layak diberikan pada sosok tertentu.
Baca Juga : Remisi dan Ironi Pemberantasan Korupsi