Judul : Rasa Tanah Air, Awal Perkembangan Kuliner Indonesia di Mancanegara pada Akhir
Abad ke-19 hingga 1940-an.
Penulis : Fadly Rahman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2023
Tebal : xvii + 173 halaman
Berhadapan dengan “Rasa Tanah Air”, kita layaknya menikmati satu layanan komplit pada restoran tua yang dikelilingi oleh nuansa abad lampau. Sang Chef, orang yang merancang konsep menu komplit tersebut, akan melayani kita dengan tiga sajian: sajian pembuka, sajian utama, dan sajian penutup. Dan kita akan menyantapnya dengan lahap.
Tak ada satupun dari tiga sajian layanan itu yang tak memuaskan. Plating-nya pas, kondimen-kondimennya pas, dan presentasi dari sang chef juga pas. Rasa-rasanya, susah untuk tidak mengatakan “Rasa Tanah Air” adalah layanan menu yang rasanya akan tertinggal di kepala dan hati kita, jauh seusai kita tandas melahapnya.
“Rasa Tanah Air” adalah buku sejarah tentang kuliner Indonesia. Sub tema yang diulik bisa kita dapatkan pada sub judul bukunya: “Awal Perkembangan Kuliner Indonesia di Mancanegara pada Akhir Abad ke-19 hingga 1940-an”.Fadly Rahman, penulis buku, sejarawan yang konsisten menjelajahi tema ini. Dua buku sebelumnya, juga bertemakan kuliner, yang menjadi pembicaraan banyak orang adalah “Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia” dan “Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870—1942”.
Itu sudah cukup menjadi jaminan bahwa “Rasa Tanah Air” adalah buku sejarah kuliner yang sangat direkomendasikan untuk dibaca bagi pecinta kuliner (di) Indonesia atau peminat dunia gastronomi Indonesia.
Buku berketebalan 170an ini disusun layaknya menu sajian di restoran: ada “SAJIAN PEMBUKA: Makanan dan Rasa Tanah Air”. Kemudian kita dibawa masuk ke “SAJIAN UTAMA” yang terdiri dari tiga menu yakni “Rasa Jawa: Nasi, Sate, Kari, dan Gurami—Kuliner Jawa pada Exposition Universelle 1889 di Paris”; “Rasa Warung: Bakmi, Telo, Pecel, Tempe dan Dawet—Makanan Jawa dalam Jejak Diaspora di Suriname 1890—1932”; dan “Rasa Hindia: Perkembangan Restoran Hindia di Belanda sejak Akhir Abad ke-19 hingga 1940-an”. Baru setelah itu kita kita disajikan dengan “SAJIAN PENUTUP: Rasa yang Tetap Terpatri di Jiwa”.
Tiga sajian ini di luar dari pengantar sajian yang disampaikan oleh Hilmar Farid, tokoh intelektual juga sejarawan, yang sekarang ini menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Indonesia. Dan hal ini tentu saja menjadi jaminan lain betapa “Rasa Tanah Air” adalah buku yang layak diperluas jangkauannya oleh pembaca sejarah kuliner Indonesia.
Lalu apa sesungguhnya yang diulik secara detail oleh tiga menu dalam sajian utama buku ini? Pertama, Fadly Rahman bukan sekadar menyajikan hasil penelusuran sejarahnya perihal risalah perkenalan dan persebaran awal makanan Indonesia ke mancanegara pada akhir abad ke-19 hingga 1940-an. Namun juga menghadirkan ke hadapan kita nuansa kemanusiaan yang berjalin-kelindan dengan praktik kolonialisme Eropa di Indonesia.
Kedua, di dalam “Rasa Tanah Air” ada data dan fakta sejarah kuliner Indonesia yang menarik, tapi sekaligus juga ada cerita manusia yang bakal membuat kita terenyuh dan terharu. Jejaki saja penelusuran Fadly Rahman perihal awal mula beroperasinya restoran-restoran Indonesia di Den Haag Belanda, niscaya kita akan mendapati jejak para jongos dan babu laut asal Indonesia—orang-orang yang barangkali kita kenal berada pada strata sosial rendah.
Ketiga, benang merah dari awal mula dikenalnya makanan Indonesia di luar negeri adalah kebijakan kolonial Belanda yang melahirkan diaspora awal Indonesia. Misalnya, ketika Belanda membutuhkan banyak tenaga kerja dari Jawa untuk dipekerjakan di lahan perkebunan di Suriname pada 1890—1932. Orang-orang Jawa mencoba tetap mempertahankan identitasnya salah satunya melalui makanan yang tentu saja sedikit disesuaikan dengan keadaan setempat. Kemudian Belanda ikut terlibat dalam semacam pameran kebudayaan masyarakat jajahan Eropa yang diadakan di Paris yang bernama Exposition Universelle 1889. Ini proyek besar bangsa Eropa yang memiliki tanah jajahan, untuk memamerkan kebudayaan masyarakat jajahan masing-masing. Di sinilah lidah bangsa Eropa diperkenalkan dengan masakan Indonesia.
Lalu yang terakhir, sajian utama buku ini mengulik perkenalan awal masakan Indonesia dengan lidah orang Belanda, khususnya di daerah Den Haag. Sebagaimana dua menu lainnya pada sajian utama buku ini, kisah makanan Indonesia di tanah Belanda dikisahkan dengan menarik dengan sajian data yang kaya nan informatif. Terkhusus pada kisah jalinan para jongos, babu, para eksil, dan hubungan di antara ketiganya.
Dari sajian-sajian yang ada di dalam “Rasa Tanah Air” ini kita akan mengerti bahwa sejarah kuliner Indonesia tidak semata berurusan dengan aspek ekonomi atau dunia bisnis, juga tidak semata perihal siapa yang pertama kali memperkenalkan masakan Indonesia ke dunia. Namun, persentuhan awal masakan Indonesia ke penjuru dunia rupanya juga berurusan dengan praktik kebijakan kolonialisme, kisah mempertahankan identitas dan kerinduan pada tanah asal, dan bahkan penanaman bibit-bibit kemerdekaan Indonesia di mana babu, jongos, eksil, dan para pelajar ikut bersama-sama dengan cara dan peran masing-masing mendorong lahirnya ide kemerdekaan.
Ya, “Rasa Tanah Air” adalah sajian sejarah kuliner yang benar-benar komplit, dalam, dan penuh nuansa.
51 Komentar