Judul : Indonesia dari Pinggir
Penulis : Fatris MF
Penerbit : PARTIKULAR
Tahun : 2023
Tebal : 238 halaman
Apa menariknya membaca buku catatan perjalanan di zaman dunia semakin saling terhubung dan terbuka saat ini? Mengapa masih ada segelintir penulis yang memilih perjalanan sebagai tema tulisan di tengah media-media sohor tentang perjalanan tumbang satu demi satu? Apa yang bisa ditawarkan oleh catatan perjalanan selain gambaran keindahan satu tempat lengkap dengan kebijaksanaan masyarakatnya?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menggantung di dalam kepala saya saat berhadapan dengan buku “Indonesia dari Pinggir”. Buku yang ditulis oleh Fatris MF, jurnalis lepas yang banyak menulis kisah perjalanan, ini sekilas menawarkan cuplikan percakapan menggoda pada sampul belakang. Namun tidak lantas cuplikan itu langsung membuat saya menarik kesimpulan bahwa ini buku catatan perjalanan yang bagus.
Lalu saya mulai mencoba memasuki tulisan pertama, “Nyanyian Tuhan di Larantuka”. Paragraf pertamanya membuat saya seketika merasa dekat, sangat dekat: penulisnya menarasikan perjalanannya di atas bus menuju Pelabuhan Sape, Bima—ini tanah pulau kelahiran saya. Meskipun alasannya personal, saya seakan membayangkan penulisnya melintasi kampung saya: penulisnya menengok keluar lewat jendela bus dan melambai-lambaikan bukunya ke arah saya di pinggir jalan—“baca bukuku ini ya. Ini buku yang sangat bagus,” dia akan berteriak ke arahku.
Dan mulailah secara imajiner saya mengikuti perjalanan Fatris si penulisnya menyeberang dari Pelabuhan Sape menuju daratan Flores di NTT. Selama tiga hari saya mengikuti perjalanan Fatris ke beberapa tempat di Indonesia, saya dengan berani menyimpulkan: ini buku catatan perjalanan yang sangat menarik.
Bagaimana tidak menarik: buku ini menawarkan narasi memikat seorang sastrawan, mata jeli seorang peneliti, sikap kritis seorang jurnalis, dan laku simpatik seorang bijak. Tapi jangan dulu bayangkan ini adalah buku terlampau serius. Fatris di sana sini mendedahkan peristiwa-peristiwa unik, kocak, baik berupa percakapan dengan orang-orang yang ditemuinya maupun fakta-fakta kecil yang akan membuat kita menyimpul senyum.
Jika tak percaya, mari saya cuplikkan satu percakapan si penulis dengan seorang supir yang membawanya ke suatu tempat di tanah timur:
“kakak supir, kenapa pelan sekali kah?”
“Ei, adik. Ti lihatkah itu jurang di samping? Ih, kalau mobil ini jatuh, lima belas kali lagu Indonesia Raya belum sampai kita di dasarnya.” (hlm 3).
Bagi mereka yang punya selera humor yang baik pasti akan terpingkal-pingkal dengan percakapan tersebut. Dan begitulah si penulis menawarkan kita narasi-narasi jenaka saat kita barangkali akan sedikit jenuh dengan penggambaran suatu tempat atau refleksi si penulis terhadap satu peristiwa.
Buku ini disusun dalam dua bab, dengan masing-masing bab terdiri dari beberapa tulisan. Bab pertama berjudul “Membelakangi Timur”, menghimpun delapan tulisan. Sementara itu, bab kedua yang berjudul “Di Tengah Pusaran Angin” ada tujuh tulisan. Dua bab ini serupa alur cerita yang mengajak pembaca berangkat dari timur lalu berakhir di barat. Kedelapan tulisan di bab pertama menawarkan petualangan penulisnya di daerah Timor, Larantuka, Pulau Buru, Ambon, dan lain-lain. Lalu memasuki perlahan-lahan pada bab kedua pembaca dibawa ke daerah-daerah pedalaman Sulawesi—Toraja, Mamasa, dan Mamuju—hingga ke Pulau Kalimantan.
“Indonesia dari Pinggir”. Apa sesungguhnya yang dimaksud ‘pinggir’ oleh judul buku ini? Jika kita menyelami samudera perjalanan Fatris ke palung-palung paling dalam daerah-daerah yang dia ulik, kita akan mendapatkan cerita-cerita yang tidak selalu menyajikan pemandangan indah, keberagaman budaya, kekayaan sumberdaya baik alam maupun manusianya. Namun Fatris mengajak kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis seputar proyek wisata yang berjamuran di mana-mana di Indonesia: apa-apa dijadikan wisata, ada air terjun lima meter saja langsung di-viralkan. Tentu saja itu tidak salah, tapi Fatris mengajak kita menimbang hal-hal lain seperti manusia di sekitarnya.
Suara manusia biasa. Ya, ini satu kata kunci yang menjadikan catatan perjalanan Fatris menjadi menarik dan penting. Di tengah pembangunan atau rancangan kebijakan satu daerah, misalnya dalam dunia pariwisata, kita cenderung dicekoki berita-berita dari sudut pandang elit negara tentang pentingnya Indonesia ‘menjual’ potensi keindahan alam dan budayanya. Tapi jarang sekali—untuk tidak mengatakan tidak ada—kita mendengar dari sisi orang biasa apakah mereka butuh pariwisata atau apakah mereka mendapatkan keuntungan dari aktifitas pariwisata tersebut.
Suara-suara minor itulah yang direkam oleh Fatris dalam “Indonesia dari Pinggir” ini. Berikut contoh percakapan pendek yang bernada jenaka tapi sekaligus menyimpin sesuatu ironi di dalamnya:
“Dan saya hanya mengamini satu hal: Ya, Wakatobi memang kaya!”
“Kaya? Di sini padi ditanam karang yang tumbuh. Haha.” (hlm 201).
Ya, begitulah Fatris menawarkan pusparagam nuansa menarik di dalam catatan perjalanannya. Dan saya rasa seperti inilah seharusnya catatan perjalanan dibuat di zaman serba canggih seperti dewasa ini: ada refleksi sekaligus narasi yang sastrawi.
Kita boleh bangga dengan Indonesia, tapi tetap harus punya ruang untuk mereflesikan kenyataan yang sebenarnya. Mari saya kutipkan kalimat catatan akhir perjalanan Fatris di buku ini:
“… Saya membayangkan di bawah satu pohon rimbun, Raden Sebaan sedang duduk menunggu dan memberi saya sebuah buku Mari Belajar Mengenali Hutan yang Sudah Tidak Ada. Betapa, Kalimantan telah maju, telah memiliki hutan di dalam kota—bukan sebaliknya, Raden Sebaan?”
Tambahkan Komentar