Readtimes.id– Peringatan International Women’s Day (IWD) yang jatuh pada hari ini, 8 Maret 2024 menjadi momentum penting bagi berbagai organisasi masyarakat sipil yang fokus dalam advokasi isu gender.
Peringatan ini sebagai upaya dalam merawat nafas gerakan dalam memperjuangan hak-hak perempuan. Adapun salah satu advokasi kebijakan yang terbilang berhasil dikawal oleh organisasi masyarakat sipil yaitu pengesahan Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sekarang dikenal dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)
“Hampir 10 tahun lamanya dibutuhkan untuk mendesak pengesahan Undang-undang yang fokus pada penanganan kasus kekerasan seksual. Dan itu berhasil. Peringatan IWD menjadi momentum untuk merefleksi bersama implementasi UU ini,” ujar Mirayati Amin PBH LBH Makassar dalam keterangan resminya yang diterima Readtimes pada 8 Maret 2024
Mira menjelaskan, pengesahan RUU TPKS dua tahun yang lalu menjadi Undang-Undang No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memang membawa angin segar dalam penanganan dan pendampingan korban kekerasan seksual di Indonesia karena Undang-Undang ini tidak membebankan tambahan saksi selain korban untuk diajukan.
Kendati demikian dalam implementasinya di lapangan Undang-Undang ini faktanya tidak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan peran serta keseriusan semua pihak dalam mengawal implementasinya.
Berdasarkan laporan LBH Makassar yang termuat dalam CATAHU 2023, sejak pengesahan Undang-undang TPKS ada 48 kasus kekerasan seksual, hampir tidak ada kasus yang sampai ke persidangan dan korban mendapatkan keadilan. Dalam catatan pendampingan, korban kekerasan seksual justru rentan mengalami reviktimisasi oleh masyarakat dan aparat penegak hukum, saat melapor.
“Aparat Penegak Hukum (APH) juga belum memahami sepenuhnya perspektif UU TPKS. Dalam pelaporan ke kepolisian, laporan korban justru ditolak dengan alasan baru mengetahui adanya UU TPKS. Kepolisian dalam proses pemeriksaan justru cenderung,” tutur Mira.
Hal ini dapat dilihat dari cara para APH memberi pertanyaan yang menyudutkan bahkan cenderung menyalahkan korban. Hal ini masih bertolak belakang dengan UU TPKS yang dengan terang mengatur bahwasanya APH harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan dan martabat korban tanpa intimidasi dan tidak menyalahkan cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau menimbulkan trauma bagi korban atau yang tidak berhubungan dengan tindak pidana kekerasan seksual.
“Korban kerap diminta untuk membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, yang seharusnya menjadi fokus aparat penegak hukum dalam mencari pembuktian unsur pasal,” terang Mira
Kata Bahkan dalam beberapa catatan pendampingan LBH Makassar, APH belum menggunakan UU TPKS sebagai acuan dalam menetapkan pasal dalam laporan kekerasan seksual.
“Isu kekerasan seksual yang kerap dianggap sebagai masalah pribadi (personal) dan dieksklusikan dari diskursus publik membawa pengaruh pada mentalitas korban untuk melaporkan kasusnya. Padahal, tidak sedikit kasus kekerasan seksual justru terjadi di ruang-ruang publik, seperti lembaga pendidikan, tempat kerja, tembaga Layanan termasuk Kantor Polisi,” pungkas Mira.
Editor: Ramdha Mawaddha
Tambahkan Komentar