RT - readtimes.id

Gelar Dialog, Ma’REFAT Institute Soroti Masalah Pembangunan dan Politik Kekuasaan di Indonesia Kini

Doc. Istimewa

Readtimes.id–Meraih kekuasaan pada dasarnya bukanlah merupakan aib, sesuatu yang tercela atau sebuah kejahatan, selama ia diraih dengan cara yang benar serta dilaksanakan di atas landasan nilai-nilai yang benar pula.

Hal ini yang kemudian tidak nampak ketika mencermati dinamika dan diskursus politik yang mengemuka sejak tahapan pilpres hingga penetapan pemenang kontestasi Presiden dan Wakil Presiden 2024 yang kemudian menjadi fokus pendiskusian
Makassar Research for Advance Transformation (Ma’REFAT INSTITUTE) Sulawesi Selatan pada 28 April 2024.

Hadir sebagai pemantik akademisi sekaligus sosiolog Unhas Dr. Muhammad Iqbal Latief, Dr. Andi Faisal, M.Hum (Ketua Prodi Kajian Budaya Unhas) dan Andi Manarangga Amir (Aktivis NGO dan Co-Founder LINGKAR-Lembaga Inisiasi Lingkungan & Masyarakat).

Tampil sebagai pemantik awal, Dr. Andi Faisal, yang melakukan kilas balik perjalanan Bangsa. Reformasi 1998, dianggap memberi harapan “kebebasan” dan kebangkitan untuk mengatasi krisis multidimensi yang melanda.

Praktik Otoritarianisme dan hegemoni Orde Baru dituding sebagai prime drive krisis multidimensi tersebut. Realitasnya, kemerdekaan dari “penjajahan” Orde Baru justru melahirkan praktik-praktik hegemoni baru di era pascareformasi. Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) justru makin menjadi.

Hal yang lain menurutnya, munculnya triad (tiga serangkai) hak-hak kewargaan pasca nasional (post-national citizenship rights) yaitu hak ekologis, hak budaya, hak identitas asli (sebelum kolonialisme) sebagai respons terhadap tuntutan hak-hak dominan pada era modern: hak-hak warga, hak suara, dan hak atas kesejahteraan.

“Di samping itu, maraknya wacana lokalitas merupakan indikasi untuk memikirkan ulang konsepsi ”kedirian (self)” yang telah mencair/terpinggirkan akibat kuasa negara, dan diperparah oleh gempuran ”politik penyeragaman” (globalisasi), ujarnya dalam diskusi yang mengangkat tema “Membaca Ulang Peta Perjalanan Pembangunan Indonesia serta Politik Kekuasaan yang Menyertainya.”

Ketua Prodi Kajian Budaya Unhas ini, menawarkan gagasan alternatifnya dengan mengembalikan Politik sebagai jalan kebenaran dengan mengembalikan “Yang Politis” dan “Etis” dalam dimensi bernegara. Dunia Sosial-Politik sangat penting merekonstruksi dirinya dengan menyediakan kondisi-kondisi kemungkinan bagi hadirnya subjek baru agar dapat menginterupsi segala ketidakmungkinan.

Selanjutnya, giliran Dr. Muhammad Iqbal Latief, yang memantik awal dengan pertanyaan reflektif, apa hasil dari Reformasi? Mungkin kondisi di lapangan masih sangat jauh dari kesejahteraan, jauh dari keadilan.

“Ibarat sebuah perahu besar, kita tidak tahu mau ke mana. Saat kita mengevaluasi dalam perspektif sosiologi. Harusnya ada sesuatu yang berubah. Apakah memang reformasi kita kali ini ada permasalahan yang serius? Pada dasarnya, kita seperti kehilangan pegangan. Kehilangan nilai sosial dalam menjalankan reformasi,” ujar Iqbal.

Menurutnya masyarakat sudah menafikkan pancasila, padahal ini merupakan landasan filosofis dalam penyelenggaraan Negara. Indonesia kini tidak sedang menjalankan demokrasi substantif, namun hanya berfokus pada politik prosedural.

Sementara itu Andi Manarangga Amir memandang bahwa adanya perubahan pada partisipasi politik masyarakat pada sebelum dan setelah reformasi. Hal yang terlihat adalah peran masyarakat dalam kontestasi politik masih sangat antusias pada awal-awal reformasi. Namun, setelah memasuki beberapa fase pasca reformasi, kecenderungan keterlibatan politik masyarakat berubah dari partisipasi menjadi mobilisasi.

” Jika dulu masyarakat ketika menjalankan kehidupan di desa begitu damai. Tapi dengan sampainya kontestasi politik pada saat ini, akhirnya mereduksi kehidupan gotong royong yang kental pada masyarakat,” terangnya

“Problem lainnya, adalah cara berpikir pragmatis yang menghinggapi sebagian masyarakat kita, yang disebabkan karena kehilangan orientasi. Seiring dengan fenomena kehilangan orientasi inilah, yang berimplikasi pada ketidakjelasan proses pembangunan dan proses politik secara nasional, lalu kemudian berkembang secara lebih luas ke berbagai dimensi kehidupan bernegara dan berbangsa hari-hari ini, “tambahnya.

Menurutnya para elit politik, setiap saat menyajikan secara kasat mata kepada publik, betapa mereka sudah kehilangan dan tak memiliki nilai-nilai lagi. Kita tidak menemukan lagi nilai-nilai substansial yang melekat dan terpatri pada sanubari mereka, yang dapat menjadikannya sosok teladan dalam kancah perpolitikan di negeri ini, sebagaimana tokoh-tokoh bangsa dan politisi awal, seperti; HOS Cokroaminoto, Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, H, Agus Salim, M. Natsir dan lain-lain.

Editor: Ramdha Mawadha

Dewi Purnamasakty

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: