Readtimes.id– Disabilitas netra di Makassar keluhkan alat bantu template braille yang tidak timbul di TPS sehingga menyulitkan mereka dalam menyalurkan hak pilihnya.
Ismail Naharuddin warga Kecamatan Panakkukang yang memilih di TPS 1 Kelurahan Karampuang mengaku kesulitan dalam membaca huruf braille pada kertas suara.
“Kalau di TPS saya, template tunanetra ada, cuma sepertinya saya kesulitan baca tulisan braillenya karena sudah tidak timbul. Jadi, saya mencoblos berdasarkan nomor urut saja, saya tinggal hitung lubangnya,” ujar Ismail pada Readtimes, Rabu 27 November 2024.
Ismail juga mengaku risih karena waktu mencoblos ada petugas yang terus mengawasinya hingga di bilik suara sehingga dia merasa bahwa petugas tersebut mengetahui pilihannya.
“Yang buat saya agak rishi sih, karena waktu saya mencoblos ada petugas yang mengawasi. Jadinya, dia pasti tahu siapa yang saya pilih. Itu kan membuat suara saya jadi tidak rahasia lagi, ” tambah Ismail.
Hal serupa juga dirasakan oleh Andreas Mirri (46) warga Kelurahan Mariso yang memilih di TPS 6 yang juga mengaku kesulitan dalam memilih karena template braille yang ada di TPS sudah tidak timbul.
“Saya bilang ke petugas ini (template braille) tidak bisa, ini tidak bisa untuk dibaca, ” ujar Andreas pada Readtimes.
Selain itu, dia juga mengaku sempat berdebat dengan petugas KPPS setempat karena tidak diizinkan untuk menjadikan anaknya sebagai pendamping.
“Mereka ngotot tidak izinkan. Karena katanya itu sudah aturan dari atas bahwa yang diizinkan jadi pendamping hanya dari kalangan petugas yang ada di situ. Saya bilang saya tidak mau memilih jika bukan anak saya yang menjadi pendamping,” ujar Andreas.
Dia juga mengaku bingung dengan aturan yang dipahami oleh petugas KPPS, karena pada pemilu-pemilu sebelumnya dia selalu diizinkan untuk menjadikan keluarga sebagai pendamping. Namun baru di Pilkada ini dia tidak diizinkan.
Andreas juga mengungkapkan bahwa dia memilih anaknya sebagai pendamping karena dia lebih percaya bahwa keluarga bisa jujur dan menjamin kerahasiaan pilihannya. Meski demikian akhirnya Andreas dapat memilih dengan bantuan pendampingan dari anaknya.
Diwawancarai terpisah, Ketua Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin mengungkapkan bahwa seharusnya penyelenggara melibatkan kelompok disabilitas dalam membahas teknis pemilihan tidak hanya sekadar sosialisasi ajakan memilih.
“Selama ini sudah diajak berkoordinasi dalam bentuk sosialisasi, tapi secara detail teknis di lapangan mereka belum dilibatkan,” ujar Ishak pada Readtimes.
“Contohnya dalam produksi template braille. Seharusnya penyelenggara melibatkan teman-teman netra ini dalam memproduksi template braille karena mereka yang lebih paham dan mengetahui apa yang mereka butuhkan,” tambah Ishak.
Dia juga mempertanyakan terkait bentuk quality control yang dilakukan oleh penyelenggara untuk mencegah hal-hal yang tidak menguntungkan kelompok disabilitas itu terulang.
Menanggapi hal tersebut, Komisioner KPU Makassar Muhammad Abdi Goncing akan menjadikan temuan ini sebagai evaluasi bagi penyelenggara.
“Terima kasih informasinya. Ini akan kami jadikan catatan penting terkait hasil cetakan braillenya,” ujar Abdi.
Sementara itu komisioner divisi teknis KPU Makassar, Sri Wahyuningsih, mengungkapkan bahwa proses pengadaan ABTN (Alat Bantu Tuna Netra) telah melalui dua kali pengecekan.
“Melalui pengecekan dua kali baik dari pengadaan maupun dr organisasi penyandang tunanetra untuk memastikan kebenarannya, “ujar Sri.
Editor: Ramdha Mawaddha
Tambahkan Komentar