Readtimes.id– Meskipun perhelatan pemilihan umum serentak baru akan diselenggarakan pada tahun 2024, sejumlah nama Kepala Daerah, Menteri hingga Dewan Perwakilan Rakyat memang sudah mulai mencuat akan maju dalam ajang pesta lima tahunan tersebut dibarengi dengan sejumlah survei elektabilitas yang berturut-turut dimunculkan oleh berbagai lembaga survei.
Selain itu keaktifan beberapa figur di media sosial juga tak kalah menambah hangatnya suasana panggung politik tahun ini di antara berbagai macam permasalah kebijakan yang tengah mendera Tanah Air. Dari pemberantasan kasus korupsi, defisit APBN, meruginya beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pandemi yang belum menunjukkan tanda- tanda akan berlalu itu, para figur ini dengan beragam jabatannya mencoba untuk meraih simpati publik juga partai politik.
Seperti yang diketahui selain restu publik, restu partai politik juga tak kalah penting bagi
majunya seorang calon dalam bursa pemilihan Presiden. Selain basis massa, persyaratan menjadi Presiden di Indonesia juga belum melegalkan jalur independen yang dinilai akan berimbas pada sinergitas kerja dalam pemerintahan jika calon terpilih nantinya.
Pada rezim pemerintah Joko Widodo saat ini, memang nyaris tanpa oposisi. Seluruh partai besar merapat dalam barisan koalisi pemerintah. Baik yang sejak awal menjadi partai pendukung maupun dipinang pasca rezim ini berkuasa.
Mengecilnya jumlah dan power oposisi dalam rezim ini ditambah dengan solidnya koalisi partai pemerintah tidak menutup kemungkinan akan munculnya Capres tunggal seperti yang kemudian diungkapkan oleh Andi Ali Armunanto, pengamat politik Universitas Hasanuddin pada readtimes.id
” Seperti gabungnya Gerindra dan pendukung
ke barisan pemerintah itu kan sangat pragmatis tidak ideologis. Sementara arena Pilpres ke depan ini juga sangat pragmatis, maka kita bisa lihat kemungkinan besar akan munculnyanya poros baru, ” terangnya.
Kendati demikian pihaknya juga tidak menampik akan terbentuknya poros koalisi baru apabila memperhatikan alasan bergabungnya sejumlah partai yang merapat ke poros pemerintah di tengah jalan. Adapun poros baru ini memiliki kecenderungan akan tertarik pada figur- figur tertentu yang memiliki ketokohan kuat di masyarakat. Peta koalisi akan berubah menjelang masa-masa krusial mendekati pemilu, yakin Ali Armunanto.
Namun angka presiden treshold yang tinggi dimana mencapai 20 persen juga menjadi alasan bagi hampir seluruh partai untuk membangun koalisi. Karena tidak ada satupun parpol dari 9 partai yang ada hasil pemilu 2019 yang memiliki presentasi suara 20%.
Ketika disinggung mengenai posisi Jokowi menurut dosen ilmu politik ini tidak akan memiliki pengaruh yang cukup besar sekalipun saat ini dia memiliki kemampuan untuk merangkul seluruh partai masuk dalam lingkar pemerintahan.
” Yang kemudian kita harus pahami posisi Jokowi ini sebagai Presiden berbeda dengan SBY maupun Megawati. Kedua mantan Presiden ini adalah pemilik partai sementara Jokowi tidak, sehingga saya lihat akhir dari Jokowi tak lain akan seperti Habibie, ” tambah Ali Armunanto.
Namun, jika mengikuti alur sistim pemilu dimana Jokowi tidak lagi menjadi calon dan apalagi status Joko Widodo sendiri juga adalah petugas partai, maka tidak menutup kemungkinan pula scenario capres vs kotak kosong bisa terjadi.
Tambahkan Komentar