Readtimes.id– Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau dikenal dengan Megawati Soekarno Putri kembali menyita perhatian publik. Presiden RI kelima ini menerima anugerah profesor kehormatan dengan status guru besar tidak tetap oleh Universitas Pertahanan pada Jumat, 11 Juni lalu.
Megawati dinilai berhasil mengatasi sejumlah krisis multidimensi di era pemerintahannya dan mendapatkan rekomendasi dari sejumlah guru besar dalam negeri maupun luar negeri. Putri Proklamator RI tersebut dianggap menguasai tacit knowledge, yaitu pengetahuan yang ada dalam kepala, belum didokumentasikan, terkait dengan pengalaman, terutama tentang ilmu pertahanan, khususnya bidang kepemimpinan strategis.
Kendati demikian dikukuhkannya nakhoda PDIP tersebut menuai pro dan kontra.
Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Rifdan, saat dihubungi readtimes.id, memandang bahwa sesungguhnya gelar profesor itu adalah jabatan akademik bukan jabatan politis. Artinya, gelar ini memiliki regulasi atau aturan sebelum kemudian diberikan kepada seseorang.
“Saya tidak akan menyebut nama ya, ini berlaku untuk semua yang telah menerima penganugerahan semacam itu sebelumnya. Di perguruan tinggi kan jelas ada aturannya, kita harus menjalankan tri dharma perguruan tinggi sebelum mendapatkan gelar itu dan tidak mudah bisa sampai ke sana,” terangnya.
Pihaknya memandang, gelar profesor honoris causa itu diberikan pada seseorang yang telah menjalani proses akademik sebelumnya. Selain itu, sebagai lembaga pendidikan, kampus tak sepantasnya dengan mudah memberikan gelar kehormatan yang sangat kental dengan nuansa politis dan penuh pencitraan.
Berbeda dengan Rifdan, Guru Besar Universitas Hasanuddin, Deddy T. Tikson memandang bahwa pengangkatan guru besar tidak tetap yang diterima Megawati telah sesuai dengan aturan pemerintah.
“Tidak perlu di bawa kemana-mana, semua kan diatur dalam aturan pemerintah. Kan jelas di aturannya bahwa setiap orang berhak diusulkan oleh universitas, melalui rapat senat diangkat menjadi dosen atau profesor tidak tetap, dan sekali lagi bedakan mana gelar dan mana jabatan,” terangnya.
Menurutnya gelar akademik akan didapatkan seseorang ketika telah melewati proses akademik. Sementara untuk jabatan, belum tentu seperti guru besar tidak tetap yang diberikan Unhan kepada Megawati.
Selanjutnya menurut mantan Dekan FISIP ini, penentuan pengangangkatan atau penganugerahan gelar honoris causa tersebut pada dasarnya memang sangat subjektif.
“Saya pernah terlibat dalam proses itu, dan jika dilihat penilaian yang dilakukan oleh universitas melalui rapat senat tersebut sejatinya sangat subjektif. Jadi menurut saya untuk apa kemudian kita memperdebatkan sesuatu yang subjektif itu. Menurut saya tidak masalah selama penganugerahan profesor tersebut dilandasi aturan yang jelas, dan memenuhi seluruh persyaratan yang ada,” tambahnya.
Dilansir dari berbagai media, Dirjen Dikti Kemendikbud-Ristek, Nizam mengatakan, pemberian gelar tersebut sudah sesuai Undang-Undang Dikti dan Permendikbud Nomor 12 Tahun 2012.
Pihaknya menjelaskan seseorang dengan prestasi atau pengetahuan yang luar biasa dan diakui secara internasional dapat diberikan jabatan guru besar tidak tetap, seperti yang dilakukan Unhan kepada Megawati.
Penganugerahan ini sebelumnya melalui usulan Senat perguruan tinggi dan ulasan karyanya di Dikti dilakukan oleh tim review dalam bidang yang diusulkan.
Adapun berbagai keahlian atau prestasi luar biasa yang juga dapat diberikan penghargaan bisa datang dari mana saja. Misalnya karya seni dan budaya yang monumental, teknologi, ilmu pengetahuan, atau pengalaman yang diakui dunia internasional.
Jadi, bagaimana menurut pembaca sekalian ?
1 Komentar