Readtimes.id– Pinangki Sirna Malasari atau dikenal dengan Jaksa Pinangki kembali jadi pusat perhatian publik setelah diterbitkannya putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta atas keterlibatannya dalam kasus Djoko Tjandra.
Pinangki terbukti melakukan korupsi suap dan pencucian uang USD 450 ribu dan permufakatan jahat. Dia divonis 10 tahun dan denda Rp 600 juta, subsider 6 bulan di tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Namun, karena tidak menerima dengan putusan tersebut, perempuan kelahiran Yogyakarta tersebut mengajukan banding dan dikabulkan dengan vonis hukuman menjadi 4 tahun penjara dan denda Rp 600 juta, subsider 6 bulan.
Potongan itu diberikan lantaran Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Kedua, Latar belakang perempuan juga ibu dari seorang anak yang masih balita (berusia 4 tahun) juga
dipandang membuatnya layak diberi kesempatan mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.
Namun, pengurangan masa hukuman ini oleh sebagian pihak dipandang sebagai sesuatu yang mencederai keadilan. Pakar hukum pidana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin saat dihubungi readtimes.id mengatakan, vonis yang diberikan kepada Jaksa Pinangki bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini karena kerugian yang ditimbulkan terhadap keuangan negara tidak sebanding dengan lamanya hukuman.
“Jadi alasan hakim sangat mencederai nilai keadilan yang ada. Apalagi melihat peran pinangki ini sangat luar biasa,” terang Rahman.
Terkait alasan atas pengurangan masa hukuman pada Pinangki, diakui Rahman memang tercantum dalam KUHAP menyoal jika terdakwa kemudian menyesal dan mengakui kesalahannya. Namun, untuk alasan bahwa Pinangki adalah perempuan dan ibu yang kemudian perlu dilindungi dari jerat hukuman lama utamanya dalam kasus korupsi , pihaknya menjelaskan bahwa hal itu tak pernah dijelaskan dalam KUHAP.
Nada kecewa juga datang dari Judhi Kristantini, Co-Founder gerakan Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) Sulawesi Selatan. Ia memandang apa yang dilakukan Pinangki adalah sebuah bentuk kemunduran dari gerakan perempuan yang hari ini berfokus pada isu-isu korupsi.
“Sebagai pihak yang berkecimpung dalam bidang tersebut, jelas kami akui ini adalah sebuah bentuk kemunduran dan penghancuran terhadap gerakan perempuan yang berfokus dalam isu gender dan korupsi ,” terang Judhi kepada readtimes.id.
Terlebih lagi ketika alasan disunatnya masa hukuman Pinangki karena dia adalah seorang perempuan sekaligus ibu menurut Judhi itu harusnya tak bisa dijadikan alasan karena ketika Pinangki melakukan tindak pidana korupsi dia juga melupakan posisinya sebagai ibu dan juga perempuan.
Pihaknya menilai bahwa memperlakukan secara adil perempuan di mata hukum sejatinya adalah tidak termasuk pada pengurangan vonis hukuman, terlebih jika itu adalah kasus korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, melainkan lebih fokus pada proses penyelidikan maupun penyidikan yang sedang berlangsung pada suatu perkara dimana sejatinya perlu memperhatikan hak-hak perempuan.
“Jadi bahwa kesamaan perempuan di mata hukum itu menitikberatkan pada prosesnya, misalnya bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh hakim tidak boleh menyudutkan keperempuanannya atau sifatnya seksis. Selanjutnya adalah memperhatikan kebutuhan keperempuanannya dengan menyiapkan ruang khusus perempuan di pengadilan, misal untuk menyusui maupun toilet khusus untuk perempuan. Hal ini sebenarnya yang diperjuangkan, bukan pada pengurangan masa hukuman,” tambahnya.
Namun, tanggapan berbeda datang dari La Sensu, pakar hukum tata negara Universitas Halu Oleo yang memandang bahwa sejatinya putusan pengadilan tinggi dalam kasus Pinangki adalah menempatkan hukum dalam kerangka keadilan dan kemanusiaan.
“Saya memandang adapun yang coba dilakukan dalam perkaran ini adalah mencoba mendudukkan hukum dengan tidak mengesampingkan prinsip-prinsip kemanusiaan dengan melihat latar belakang terdakwa adalah seorang perempuan juga ibu,” terangnya.
Selanjutnya terkait keputusan untuk memangkas masa hukuman Pinangki oleh pengadilan juga tidak terlepas dari pertimbangan bahwa Pinangki bukanlah aktor utama melainkan ada banyak pihak di belakangnya. Adapun yang dilakukan oleh Pinangki sejatinya sesuatu yang sifatnya kolektif kolegial.
Bagaimana dengan para pembaca sekalian? Layakkah vonis Pinangki dikurangi?
1 Komentar