RT - readtimes.id

Ironi Sepak Bola Menyerang

Oleh : Jabal Rachmat Hidayatullah


Bagi sebahagian penonton sepak bola, striker dan pencetak gol adalah pahlawan di atas lapangan. Mereka dipuji sebagai bintang, punya fans fanatik dan tentu saja hidup layaknya selebriti. Sementara pemain bertahan, layaknya penumpang saja. Hadir sekedar menjadi pelengkap!

Kisah berbeda terjadi pada cabang olahraga lain seperti basket dan Football Amerika, para pemain bertahan mendapatkan gelar tersendiri. Tak jarang, pemain terbaik kejuaraan justru diberikan kepada pemain yang handal dalam bertahan, seperti Giannis Antetokounmpo yang meski memang hebat dalam hal offense, namun juga hebat dalam hal bertahan hingga berhasil mendapatkan penghargaan pemain bertahan terbaik pada liga basket Amerika musim lalu.

Pada ‘sepak bola agung’, para pemain depan akan selalu mendulang pujian, sedangkan para pemain bertahan tak ubahnya penggenap sebelas pemain dalam permainan. Barangkali begitu doktrin para ekstremis yang mencaci permainan bertahan.

Maka jangan heran, nama seperti Virgil van Dijk yang gagal menyabet pemain terbaik dunia pada 2019 lalu tak bisa mengulang kesuksesan seorang Fabio Cannavaro 13 tahun sebelumnya.

Namun, apakah sisi pertahanan merupakan hal yang tabu dalam sepak bola?

Barangkali Liverpool dan Leeds United punya jawabannya. Absennya Van Dijk pasca mendapat tekel dari Jordan Pickford pada 17 oktober lalu awalnya tidak begitu mempengaruhi performa The Reds. Namun, seiring rontoknya para bek tengah inti, pasukan Jurgen Klopp mulai rapuh. Bukan karena mereka sering diserang, namun karena mereka mengandalkan lini bertahan sebagai awal mula serangan. Nama seperti Virgil van Dijk, Andrew Robertson, dan Trent Alexander Arnold jadi inspirasi serangan utama Liverpool.

Ketika aliran bola dari belakang mulai mendapat ganjalan, maka Thiago Alcantara yang diharap mampu membantu, malah tidak bisa berbuat banyak. Maka jangan heran ketika assist ajaib dari para fullback Liverpool sudah mulai berkurang, sebab sosok yang selama ini jadi pembagi bola ulung dalam diri Van Dijk, sudah tidak berdiri mengawal lini belakang.


Hal yang sama juga menjadi ironis dari Leeds United. Dalam 24 laga, pasukan Marcelo Bielsa sudah mencetak 40 gol. Jumlah tersebut lebih banyak dari West Ham yang bercokol di peringkat 4, atau Everton yang ada 5 strip di atas Patrick Bamford dan kolega. Menonton gol demi gol yang dicetak oleh Leeds barangkali akan membuat para ekstremis sepak bola jadi riang gembira. Namun, mereka takkan berpaling dari tim-tim besar yang lini depan dan lini belakangnya sama-sama hebat.


Leeds United mungkin bisa mencetak hampir dua gol setiap laga, namun mereka takkan masuk zona eropa selama belum memperbaiki zona pertahanannya yang sudah bobol lebih banyak dari jumlah golnya saat ini. Para penggila sepak bola menyerang boleh berkilah trio Salah, Firmino, dan Mane sudah usang hingga butuh kehadiran Diogo Jota, namun mereka takkan merosot lebih tajam andai sosok sentral seperti Virgil van Dijk ada di lini belakang.
Ketika tim yang memiliki lini depan yang baik masih tidak mampu menguasai liga, lantas apa lagi yang salah? Masihkah para ekstremis abai pada permainan bertahan juga merupakan keindahan sepak bola?

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: