Readtimes.id– Praktik pemberian gelar kehormatan oleh kampus kepada tokoh publik telah berlangsung lama, baik di dalam maupun luar negeri.
Di Tanah Air sendiri, praktik pemberian gelar ini telah ada jauh hari bahkan sebelum reformasi. Sejumlah nama seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa diantaranya telah menerima penghargaan serupa dalam bidang berbeda-beda. Bahkan, satu tokoh bisa mendapatkan lebih dari satu gelar kehormatan dari kampus berbeda. Sebut saja Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, yang menurut catatan telah mengoleksi 26 gelar honoris causa.
Meski demikian, ada pula tokoh publik Tanah Air yang kemudian enggan menerima penghargaan serupa. Adalah Presiden RI kedua, Soeharto, yang sempat menolak penganugerahan gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia seperti yang kemudian diabadikan dalam buku ” Jejak Langkah Pak Harto, 27 Maret 1973-23 Maret 1978″ .
Selanjutnya ada Joko Widodo yang juga beberapa kali menolak penghargaan serupa dari berbagai kampus yang telah menawarinya penganugerahan Doktor HC selama periode kepemimpinannya.
Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, dalam keterangan tertulisnya pada readtimes.id mengatakan, pada dasarnya sikap menerima maupun menolak bergantung pada sikap kenegarawanan tokoh.
“Kalau dia merasa belum layak menerima anugerah itu, dia mungkin menolak. Kalau dia merasa layak mungkin dia mau terima,” terangnya.
Pihaknya mengaku bahwa sulit menggeneralisasikan setiap motif tokoh publik yang mau menerima gelar penghormatan tersebut. Namun, hal itu sejatinya tak bisa dipisahkan dari kondisi masyarakat Indonesia yang masih feodal yang menganggap bahwa sebuah gelar itu menjadi sebuah ukuran status sosial. Berbeda dengan karakteristik masyarakat maju yang memandang gelar bukanlah ukuran. Hal ini yang kemudian membuat para pemburu gelar tak lagi peduli dengan konsekuensi gelar yang diterima.
Selanjutnya adalah adanya ketidakpahaman hakikat penyematan gelar profesor yang merupakan pencapaian tertinggi akademik. Menurut Hamdi Muluk, jika para penerima paham, khususnya mereka yang tidak berkarier sebagai pengajar, peneliti, penulis karya ilmiah, menguji doktor dan seterusnya pasti akan menolak pemberian gelar tersebut .
“Dugaan selanjutnya adalah mereka tidak paham perbedaan jabatan profesor dan doktor honoris causa. Atau mungkin paham tapi memang ingin keren, pakai gelar profesor, tanpa harus terima konsekuensi melakukan pekerjaan ilmiah, ” tambahnya.
Adapun hal yang kemudian membuat fenomena obral gelar ini tak bisa dihindari tak lain adalah adanya peraturan yang longgar seperti yang tertuang pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur tentang profesor atau Guru besar tidak tetap. Aturan ini masih memberikan peluang besar bagi ukuran subjektif dalam penganugerahan sebuah gelar, dan tidak memakai kriteria kuantitatif atau kredit akademik.
Adanya ketegasan Kemendikbud untuk membenahi aturan tersebut menjadi penting jika kemudian ingin menghindarkan kampus dari pemberian gelar kehormatan yang bersifat politis.
Selanjutnya untuk kampus, tak lain adalah kembali pada penerjemahan undang-undang atau peraturan terkait yang selayaknya dilakukan lebih ketat dan berpulang pada marwah perguruan tinggi. Apakah ingin dikenal publik sebagai institusi yang ketat? Atau Institusi yang cenderung obral.
Tambahkan Komentar