Judul: Aku Radio Bagi Mamaku
Penulis : Abinaya Ghina Jamela
Penerbit : Gorga
Tahun Terbit : 2021
Tebal : 92 hlm
Ada banyak buku yang berkisah tentang dunia anak-anak, baik yang ditulis oleh orang dewasa, maupun oleh anak itu sendiri. Dan ini menimbulkan perdebatan: apakah yang dimaksud dengan buku anak itu? Apakah yang bercerita tentang dunia anak-anak tak peduli siapa penulisnya ataukah yang hanya ditulis anak-anak meskipun tidak bercerita tentang dunia anak? Saya akan menyisihkan persoalan itu secara lebih jauh, dan mengajak pembaca bertualang dalam buku kumpulan cerpen tipis yang sangat menarik: “Aku Radio bagi Mamaku”.
“Aku Radio bagi Mamaku” berisi sekumpulan cerita pendek yang ditulis oleh anak perempuan berusia sekira sembilan tahun, Abinaya Ghina Jamela. Nah, terkait pertanyaan saya di atas—perihal definisi cerita anak—, saya punya pendapat sendiri menyangkut cerpen-cerpen dalam buku tersebut. menurut hemat saya, “Aku Radio bagi Mamaku” bukan jenis buku anak. Ini buku untuk orang dewasa yang ditulis oleh anak kecil. Gaya bercerita, alur yang dibangun, isi cerita, dan sebagainya, jauh sekali dari genre bacaan anak.
Kejujuran Abinaya dalam mengungkapkan perasaan dan pendapat-pendapatnya kerap kali membuat saya terkaget-kaget. Kepolosan lazimnya anak kecil berpadu dengan daya kritis ala orang dewasa. Saya tidak sepenuhnya yakin buku ini dapat dinikmati oleh anak-anak seusianya yang barangkali masih tenggelam dalam bacaan dongeng yang ditulis orang dewasa yang disesaki tuntutan mencari makna.
Menurut saya, masalah-masalah yang dihadapi oleh si tokoh dalam buku ini sudah menjadi pengetahuan umum. Misalnya, kita tahu umumnya perpustakaan yang ada di sekolah-sekolah di Indonesia tidak menarik dan membosankan—baik dari tata ruangan yang monoton, koleksi yang sedikit dan tidak diperbaharui, maupun para penjaganya yang masih minim komunikasi yang interaktif. Coba kita simak bersama-sama narasi atau potongan salah satu cerpennya ini:
“Buku di perpustakaan sekolah tidak banyak, beberapa saja. Buku-bukunya juga tidak terlalu seru. Beberapa yang menarik dan enak dibaca, seperti cerita tokoh-tokoh dunia. Selebihnya buku-buku membosankan…” Nah.
Mari kita ulik lagi curhatan Abinaya soal kondisi di sekolahnya. Kita tahu bagaimana terkadang pengajaran di sekolah tak jarang justru mematikan imajinasi dan daya kreatifitas anak. Nah, Abinaya mencoba menyampaikan keluhannya dalam salah satu cerpennya. Simak saja cerita berjudul “Aku Suka Bermain dengan Crayonku.
“Tidak ada trotoar yang tersisa untuk pejalan kaki. Semua sudah digunakan oleh toko-toko untuk kepentingan mereka. Kadang-kadang di tengah trotoar berdiri gerobak penjual rokok. Trotoar bukan lagi milik pejalan kaki. Mengapa Aliana tidak menggambar itu semua? Biar orang-orang tahu apa yang sedang terjadi. Aku pikir, mungkin Aliana tidak memperhatikannya. Dia terlalu sibuk dengan handphonenya.”
Begitulah, si tokoh sangat berbeda dengan anak-anak seusianya. Atau sebetulnya keluhan-keluhan semacam ini turut dirasakan oleh anak seusianya, namun tidak banyak penulis anak yang mampu dan berani menuliskannya secara gamblang dan terus terang.
Kisah-kisah menarik serupa itu memenuhi kesepuluh cerita pendek di dalam “Aku Radio bagi Mamaku” ini. Dan menariknya lagi, Abinaya konsisten menggunakan tokoh utama yang sama dalam semua cerpennya: perempuan kecil kelas satu SD bernama Alinka (ini mengingatkan saya pada tokoh Olenka-nya Budi Darma). Dan tokoh-tokoh lainnya adalah orang-orang yang dekat dengan kesehariannya di sebuah kota bernama Sanopa.
Jadi, saya ulang kembali, buku ini nampaknya memang ditulis untuk orang dewasa oleh anak kecil. Jadi buku kumpulan cerpen ini sangat berguna dan penting dibaca oleh orang dewasa yang ingin menyimak sekaligus memahami perspektif anak dalam melihat realitas.
Catatan terakhir dari saya: bersiap-siaplah kaget dan terkagum-kagum pada referensi bacaan penulis buku “Aku Radio bai Mamaku” ini. Kalian akan mendapati nama-nama sastrawan dunia yang buku-bukunya dilahap habis oleh si Abinaya, penulis buku ini. Dia menyebut Pramoedya Ananta Toer, Roald Dahl, James Joyce, Jorge Luis Borges, Mark Twain, John Steinbeck, dan masih banyak lagi. Hmmm…
Penulis : Dedy Ahmad Hermansyah
Tambahkan Komentar