Judul : Pulang Vakansi
Penulis : Ruhma Ruksalana Huurul’in
Penerbit : halaman Indonesia bekerjasama dengan akar pohon
Cetakan : November 2022
Tebal : 59 halaman
“Tak ada yang bisa dijadikan puisi
Sibuk mencaci diri karena boros, dalih self-healing therapy”
Puisi adalah sebuah dunia yang tersusun dari perasan kata-kata terbaik yang dimiliki seorang penyair. Bukan semata kata-kata yang nampak ‘njlimet’ dan sok bergaya, namun kata-kata yang menyaring realitas di luar menjadi realitas lain di dalam puisi itu sendiri. Puisi menyediakan ruang renung bagi diri kita menemukan intisari hidup kita sehari-hari.
Seperti itulah yang saya rasakan seusai membaca 45 puisi yang ada dalam buku kumpulan puisi “Pulang Vakansi”. Puisi-puisi itu ditulis oleh Ruhma Ruksalana Huurul’in, perempuan yang lahir dan tinggal pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sebagai karya debutnya, saya rasa puisi-puisi di dalam buku ini menyimpan potensi yang memiliki pendar yang kuat, bahkan seusai kita membacanya.
Namun demikian, saya tergoda dengan delapan puisi yang berturut-berturut disusun dari halaman 39 sampai 46. Delapan puisi ini nampak memiliki tema yang kuat terkait dengan nasib manusia di tengah dunia kerja. Delapan puisi tersebut adalah: “Kapital”, “Buruh-Buruh Sirkuit”, “Kontrak”, “Anak Baru”, “Penjaga Toko”, “Istirahat Siang Kerani”, “Libur Kerja”, dan “Pulang Vakansi”.
Karena hanya menyoroti delapan puisi di antara 45 puisi, jadi saya perlu menegaskan, hasil pembacaan saya tidak mewakili seluruh puisi yang lain di dalam buku ini. Puisi-puisi di dalam buku ini, sebagai gambaran umum, menggamit puspa ragam tema yang sebagian besar bergelut dengan dunia keseharian. Tapi, entah mengapa, delapan puisi yang berderet berturut-turut itu mampu menawan saya.
Baik, mari saya hamparkan poin-poin besar yang saya raup dari proses membaca delapan puisi tersebut. Pertama, beberapa puisi memberikan gambaran tentang alienasi atau keterasingan manusia dalam dunia kerja.
Kedua, sebagai salah satu konsekuensi dari poin pertama, manusia yang mengalami alienasi tersebut lantas terseok-seok mencari diri sendiri.
“Anak Baru” adalah puisi yang sedikit banyak menggambarkan keadaan itu secara tidak langsung.
“anak baru di kantor besar
pulang lebih awal dari senior
saat wawancara
kelebihannya adalah mengerjakan laporan keuangan bulanan
dalam waktu 8 jam
kekurangannya: mudah mengantuk
sekarang
kelebihannya ada di jam kerja
dan ia kekurangan jam tidur”
“Jam tidur” yang ada di bait terakhir menyimpan persoalan ideologis, yakni perampasan hak. “Jam tidur” yang saya maknai sebagai simbol hak seseorang untuk bercengkerama dengan diri sendiri menjadi terampas dan tergerus oleh kelebihan jam kerja.
Puisi “Penjaga Toko” lebih detail lagi menarasikan proses alienasi manusia dalam dunia kerja. Puisi ini menarasikan satu ‘puan’ yang bekerja sebagai penjaga toko yang bertugas menyusun inventaris toko “dalam kotak kardus/disusun ke atas/maksimal 8 tumpuk”.Alienasi membuat si penjaga toko itu bersedih,…”sering ia sisipkan kesedihannya,/agar tak jadi beban di shift malam/masa lalu, puan/diisolasi rapat dalam kardus//disalurkan ke swalayan/renteng kesedihan pun dijual eceran/laris di pedesaan//”
Ya, kadang kita hanya melihat barang-barang semata-mata benda mati. Padahal, ada kerja manusia di sana. Jejaknya mungkin tidak terlihat secara fisik, tapi di setiap barang yang kita beli senantiasa ada sisipan kesedihan manusia serupa ‘puan’ di puisi “Penjaga Toko” di atas.
Tiga puisi terakhir—“Istirahat Siang Kerani”, Libur Kerja”, dan “Pulang Vakansi”—saya kira yang paling blak-blakan menampikan gambaran bagaimana manusia terjebak dalam dunia kerja, berusaha keluar dari jebakan, tapi yang didapatkan malah ilusi—liburan atau vakansi rupanya hanya semacam lingkaran spiral yang tidak menawarkan apa-apa kepada kita.
Dalam “Istirahat Siang Kerani” ada bait seperti ini: “hatiku seperti penulis fiksi/segalanya begitu mungkin di istirahat siang ini/padahal dia hanya menunggu akhir pekan/bercocok tanam di mars/atau kursus menjadi pembunuh bayaran di venus”. Lihat, bagaimana waktu luang menjadi sesuatu yang sangat singnifikan bagi seorang kerani (pegawai adminsitrasi). Istirahat siang menjadi momen berharga yang menyediakan ruang bagi imajinasi dan pembebasan dari kepenatan.
Puisi “Pulang Vakansi” juga memberikan suasana serupa. Puisi ini menenggelamkan kita pada perasaan sia-sia seseorang setelah pulang dari vakansi atau liburan. “tak ada yang bisa dijadikan puisi/sibuk mencaci diri/dalih self-healing therapy/” Ini membawa kita pada fenomena umum di mana seseorang bekerja untuk mengejar upah, dan membayangkan di akhir pekan bisa melakukan healing (istilah populer saat ini) selepas bekerja sebulan di tengah situasi yang menekan. Namun, rupanya, yang dialami oleh aku-lirik puisi ini justru kesia-siaan yang menyedihkan.
Begitulah, delapan puisi dengan kecenderungan tema alienasi manusia di tengah dunia kerja membawa kita pada pengalaman sehari-hari yang jarang kita renungkan. Dengan lirik yang naratif dan sajian pengalaman keseharian, penyair pemilik puisi-puisi di dalam “Pulang Vakansi” ini berhasil membawa saya pada perasaan yang nelangsa sekaligus geram: nelangsa pada si aku-lirik yang setengah mati merebut waktu luang, sekaligus geram pada kekuatan nyaris tak kasat mata yang menciptakan sistem tak adil itu berlaku.
Barangkali, secara subyektif saya menilai, ‘kekurangan’ buku ini hanya terletak pada tidak adanya upaya mencari tahu akar alienasi itu, mengapa kondisi seperti itu bisa terjadi. Tapi, segenap kekurangan itu tidak lantas membuat puisi-puisi ini kekurangan daya sihirnya. Gambaran yang jernih dan tidak didaktik membuat delapan puisi yang saya bincangkan kali ini memberikan daya pukau yang tak gampang dilupakan.
Tambahkan Komentar