Readtimes.id– Wacana utak-atik UUD 1945 kembali menguat. MPR diminta terlebih dahulu memaparkan hasil kajiannya tentang Pokok-Pokok Haluan Negara di tengah kekhawatiran kembalinya Indonesia ke sistem parlementer.
Pembahasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) menjadi isu sentral amandemen kali ini. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjadi sosok yang paling getol menyuarakan wacana tersebut, di tengah pro kontra fraksi partai politik di parlemen. Ketua MPR RI dari fraksi Golkar ini bahkan rela menentang partainya yang sejak awal tidak sepakat amandemen terhadap UUD NRI 1945 itu.
Hal ini dibuktikan dalam beberapa kesempatan pria yang akrab disapa Bamsoet ini mengutarakan pentingnya membentuk PPHN dengan menambah dua pasal dalam UUD 1945. Antara lain penambahan 1 ayat pada pasal 3 yang memberi kewenangan MPR mengubah dan menetapkan PPHN, serta penambahan ayat pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
“Dengan PPHN, maka rencana strategis pemerintah yang bersifat visioner akan dijamin pelaksanaannya secara berkelanjutan, tidak terbatas oleh periodisasi pemerintahan yang bersifat elektoral,” terangnya dalam pidato pembukaan Sidang Tahunan MPR RI.
PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Rancangan Pembangunan Jangka Panjang, dan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah yang sifatnya lebih teknokratis.
Selain itu, juga untuk memastikan keberlangsungan visi dan misi negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Sifatnya yang filosofis diklaim penting untuk memastikan potret wajah Indonesia masa depan yang penuh dengan dinamika perkembangan nasional, regional, dan global sebagai akibat revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.
Dan bentuk hukum yang ideal untuk PPHN menurut Bamsoet adalah melalui ketetapan MPR, bukan melalui undang- undang saja yang sewaktu-waktu dapat diajukan judicial review ke Mahkama Konstitusi.
“Pemilihan Ketetapan MPR sebagai bentuk hukum yang ideal bagi PPHN, mempunyai konsekuensi perlunya perubahan dalam konstitusi atau amandemen terbatas UUD NRI 1945,” ujar Bamsoet dalam beberapa wawancaranya bersama media.
Butuh Penjelasan
Pakar hukum Universitas Hasanuddin, Romi Librayanto, memandang bahwa sebelum gaduh dengan wacana amandemen UUD NRI 1945, seharusnya MPR menjelaskan lebih gamblang terkait urgensi dan hal-hal teknis dalam PPHN yang dimaksudkan.
“Mengenai siapa yang menyelenggarakan PPHN, siapa yang lantas berhak menafsirkan, siapa saja pihak yang berhak memberikan sanksi ketika PPHN itu tidak diterapkan, kemana masyarakat harus mengadu misalnya, semua harus jelas dulu,” terangnya.
Ini penting untuk mengetahui sejauh mana batasan peran-peran lembaga negara termasuk MPR dalam pelaksanaan PPHN.
Munculnya sejumlah kekhawatiran terkait posisi MPR yang akan lebih kuat dan mengembalikan Indonesia ke sistem parlementer, di mana Presiden menjadi mandataris dari MPR ketika amandemen ini benar-benar dilakukan, dipandang Romi sebagai konsekuensi dari ketidakjelasan MPR menjelaskan PPHN.
“Apakah dia berbentuk abstraksi atau konkretisasi dari konstitusi, dan apakah ini berbentuk kerangka yuridis yang berkonsekuensi hukum ketika ada pihak yang melanggar misalnya, atau sebatas kerangka etis saja, sekali lagi semua harus dijelaskan,” terangnya.
Lebih dari itu, ia memandang alasan yang diungkap oleh MPR terkait PPHN untuk kemudian memberikan haluan atau arah dalam kehidupan berbangsa dan negara ke depan sejatinya bukanlah alasan sepenuhnya keliru atau tidak berdasar. Kendati demikian, bukan berarti akan diterapkan begitu saja tanpa adanya penjelasan terhadap publik terkait PPHN yang dimaksud.
“Apalagi permintaannya bukan hanya sebatas UU, tapi ketetapan MPR yang berkonsekuensi dilakukannya amandemen terhadap UUD, yang pastinya akan membutuhkan penyesuaian pada sejumlah pasal yang ada. Bisa jadi bukan 1 atau 2 pasal saja , bahkan lebih,” pungkasnya.
1 Komentar