Readtimes.id– Bagi pembaca karya sastra klasik, barangkali tidak asing dengan buku terkenal, The Count of Monte Cristo. Ditulis oleh pengarang legendaris Prancis, Alexandre Dumas. Penulis yang sama yang menulis The Three Musketeers. Dua karyanya ini sudah pernah difilmkan berkali-kali. Dan bagi pembaca novel sejarah Indonesia, barang tentu sudah akrab dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, salah satunya berjudul Bumi Manusia—setidaknya tahu filmnya yang diperankan artis tampan sejuta fans: Iqbal Ramadhan alias Si Dilan.
Nah, bagi mereka yang sudah membaca kedua karya besar tersebut, mungkin sempat menyadari jika karakter tokoh utama kedua novel ini memiliki persamaan. Entah kenapa, ada beberapa dari kutipan yang saya catat dalam The Count of Monte Cristo punya sedikit kemiripan dengan kutipan dalam karya Pramoedya Ananta Toer di dalam Tetraloginya.
Padahal, dua karya ini berbeda dalam banyak sisi. Baik segi cerita maupun latarnya. Tetralogi berkisah tentang perjalanan satu bangsa dalam membangun kesadaran bersama dengan semangat modern yang anti kolonial. Sementara itu, The Count of Monte Cristo berkisah tentang pembalasan dendam seorang laki-laki miskin pekerja kapal kepada orang-orang yang telah mencelakakan ia sampai ia harus mendekam di penjara terpencil selama belasan tahun.
Baiklah, mari kita periksa beberapa kemiripan di antara mereka berdua, sembari menyegarkan kembali ingatan kita pada sastrawan besar kita yang telah berpulang selama-lamanya; Pramoedya Ananta Toer. Yang pecinta Pram, mari merapat.
Latar Tetralogi berkisar pada masa penjajah atau kolonialisme mulai menerapkan politik etis pada ujung kekuasaannya. Monte Cristo berlatar masa konflik kekuasaan antara Napoleon dan Raja Louis. Meski begitu, keduanya memang sama-sama kaya dengan deskripsi historis. Batin sejarah dalam masing-masing karya monumental ini benar-benar diulik dan mendetail.
Saya tak akan membandingkan atau lebih jauh menganalisa kedua roman tebal ini. Mungkin di lain waktu. Saat ini saya hanya hendak menunjukkan dua atau tiga kutipan yang punya jiwa yang sama pada masing-masing roman, yang diucapkan satu atau dua tokoh yang berbeda.
Dantes adalah nama tokoh sentral dalam The Count of Monte Cristo. Minke adalah pusat penceritaan dalam Tetralogi Pram. Mereka berlatar dari keluarga yang sangat berbeda. Dantes berasal dari keluarga sangat miskin, sedangkan Minke dari keluarga priyayi atau bangsawan. Tapi mereka berdua sama-sama memiliki kelebihan dalam ilmu pengetahuan.
Dantes punya ingatan yang menakjubkan dan kecerdasan yang tajam dan cepat. Dalam waktu enam bulan di dalam penjara, berkat kawan tuanya, dia mulai berbicara bahasa Spanyol, Inggris dan Jerman. Dalam waktu satu tahun, Dantes sudah menjadi orang lain. Minke pun demikian. Ia sudah menunjukkan jiwa pecinta ilmu pengetahuan sejak di bangku sekolah.
Perbedaannya: Minke belajar di sekolah, Dantes mempelajarinya di dalam penjara. Mereka sama-sama punya minat pada geografi, ilmu alam, dan yang paling penting—ilmu tentang ‘manusia’. Dinarasikan dalam Count of Monte Cristo, bahwa Dantes punya ikatan yang kuat, pikiran matematisnya memberinya suatu fasilitas untuk segala macam kalkulasi.berbagai macam bahasa dalam kurun waktu enam bulan, setidak-tidaknya prinsip dasar bahasa-bahasa itu.
Sementara Minke sudah membangun semacam manifesto di awal tetralogy, Bumi Manusia: “Dalam hidupku, baru seumur jagung, sudah dapat kurasai,: ilmu pengetahuan telah memberikan aku satu restu yang tiada terhingga indahnya.
Lebih menarik lagi, mereka mengidentifikasi diri sebagai manusia yang berada di luar penentuan posisi kekuasaan yang umum pada masanya. “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya,” ujar Minke. “…wilayah raja-raja dibatasi oleh batas alam atau perubahan adat-istiadat atau bahasa. Kerajaanku sebesar dunia karena aku bukan orang Italia, Prancis, Hindu, Amerika, atau Spanyol: aku seorang kosmopolit,” kata Dantes.
Mereka sama-sama kritis menyangkut dunia manusia. Mereka mengkritik kekuasaan, mereka membenci pandangan yang merendahkan manusia lain. Ini kalimat Dantes ketika berbincang dengan lawan bicaranya: “Mata anda hanya menatap organisasi sosial kemanusiaan,…Anda tidak melihat apa-apa kecuali denting mesin dan bukan karyawan mulia yang membuat mesin itu berfungsi. Di sekeliling Anda, Anda hanya mengenali mereka yang posisinya sudah ditetapkan bagi mereka oleh seorang menteri atau raja, Anda tidak mampu melihat orang-orang yang oleh Tuhan telah ditempatkan di atas menteri dan raja-raja dengan memberi mereka suatu misi untuk dipenuhi, bukannya satu posisi untuk diduduki.”
Di sisi lain, pada Tetralogi ada kutipan yang filosofis yang ditujukan kepada Minke, diucapkan oleh Nyai Ontosoroh, ” “Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana;biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perasaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.”
Dan, terakhir, mereka mencintai kebebasan. Dan ini tidak berhenti pada pedoman, tapi berusaha menjelmakannya dalam kehidupan nyata. Suatu kali, Minke berkata Bunda-nya, “Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak diperintah, tidak memerintah, Bunda.” Barangkali kutipan ini terinspirasi dari kata-kata ibu Pram di kehidupan nyatanya, “Jangan jadi pegawai negeri, jadilah majikan atas dirimu sendiri. Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri…”
Mengenai prinsip kebebasan ini, Dantes berujar begini kepada lawan bicaranya, “Setiap orang di sekelilingku bebas untuk meninggalkan aku dan, begitu meninggalkanku, dia tidak lagi membutuhkan aku atau siapa saja. Mungkin itu sebabnya tak seorang pun meninggalkan aku.”
Kutipan-kutipan mereka yang identik itulah yang membuat saya ingin menuliskan catatan pendek ini. Semoga berguna!
Tambahkan Komentar