Readtimes.id – Merger Bank BNI Syariah (BNIs), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank BRI Syariah (BRIs) menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) akan melahirkan atmosfer baru. Wajar saja, merger memperkuat aset, modal, dan kapitalisasi pasar ketiga bank syariah plat merah itu, yang memang sedari awal sudah mengeruk pangsa pasar paling besar di industri keuangan syariah di Tanah Air.
Komposisi kepemilikan saham paling besar dipegang oleh BSM dengan jumlah
112.12 triliun rupiah atau setara 51.2 persen. Sementara BRIs dan BNIs berturut-turut menyumbang 51.80 triliun dan 50.76 triliun rupiah. Sisanya dipecah-pecah lagi ke beberapa entitas, dan 4.4 persen dilepas ke publik.
Jauh sebelum merger diputuskan, sejumlah pengamat mewanti-wanti dominasi kepemilikan saham BSM di BSI hanya akan mendongkrak kinerja BSM saja. Muhammad Najib, Dosen Departemen Manajemen Institut Pertanian Bogor, dikutip Tirto pada November 2020 lalu mengatakan dominasi itu akan menjadi dilema ketika bank syariah hasil merger mulai menjalankan misi menambah pangsa pasar. Dominasi BSM bisa saja menghambat perumusan strategi ideal untuk menggerakkan regulator.
Tapi, pengamat bisnis Universitas Hasanuddin, Abdullah Sanusi, berpendapat lain. Menurutnya dominasi salah satu entitas pada saat merger adalah hal yang biasa terjadi.
“Kalau komposisi seperti ini umum sih terjadi dalam proses merger. Artinya, proporsi saham yang tinggi tercermin dalam komposisi struktural perusahaan,” kata dosen yang akrab disapa Dul ini, Kamis (4/2/2020), saat dihubungi Read Times.
Dia menilai dominasi saham BSM di BSI tak akan membuat perubahan mendasar terkait kebijakan bisnis mereka. Segmen pasar BSI justru akan semakin besar, mengingat sebelum merger, ketiganya memang punya jejaring kuat sebagai pemain inti dalam industri perbankan syariah di Indonesia.
“Tantangannya bagi direksi hasil merger ini adalah menyelaraskan tiga kebijakan yang bisa muncul,” tambah Dul.
Di sisi lain, hasil merger BSI itu berisiko menimbulkan iklim persaingan bisnis keuangan syariah yang tidak kondusif. Saat ini hanya ada 14 bank syariah umum di Indonesia. Jika tiga diantaranya merger, maka tersisa 12 bank. Apalagi, yang bergabung ini adalah pemain kakap di perbankan syariah.
Direktur Riset Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai pemerintah harus mempertimbangkan ekosistem kedepannya, karena hasil merger BSI bisa saja mengarah ke monopoli.
Berbeda, bagi Dul, potensi dominasi BSI sebagai hasil merger memang perlu jadi perhatian pemerintah. Dikhawatrikan pemain baru untuk masuk dalam industri ini makin kecil, apalagi mengingat dominasi bank ini dengan pangsa pasar masing-masing sebelum merger sudah besar. Tapi Dul sendiri menilai kekhawatiran itu jangan berlebihan.
“Merger itu kan salah satu tujuannya agar lebih efisien, tergabungnya tiga entitas ini tentu akan membuat BSI lebih lincah dalam menyasar market-share yang lebih besar,”
“Adapun berkaitan dengan dominasi BSI sebagai hasil merger, memang perlu menjadi perhatian pemerintah. Namun saya kira kekhawatiran ini (monopoli, red) sepertinya agak berlebihan, apalagi kehadiran BSI tidak dalam upaya menghapus pemain yang sudah ada. Lagian, konsumen perbankan syariah juga bukan konsumen yang gampang berpindah,” jelas Dul.
Sebagai informasi, merger BSI tidak melanggar Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal itu karena BNIs, BRIs, dan BSM yang tergabung menjadi BSI adalah perusahaan plat merah dan dikecualikan dalam undang-undang tersebut.
520 Komentar