
Judul Buku : Lelaki-Lelaki Tanpa Perempuan
Penulis : Haruki Murakami
Penerjemah : Ribeka Ota
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : April 2022
Tebal : v + 262 halaman
Bagaimana laki-laki merespons perselingkuhan? Bagaimana laki-laki menanggapi pengkhianatan? Dan sebut segala pertanyaan serupa itu. Dalam dunia yang patriarkis yang kita tinggali ini, barangkali kita mudah membayangkan laki-laki akan menunjukkan kekuasaannya dan berbuat kejam ketika diselingkuhi dan dikhianati. Laki-laki mungkin akan menyebarkan ke seluruh dunia perbuatan jahat yang dilakukan pasangannya kepada dirinya. Dendam dan pembalasannya, itu yang mungkin ada.
Tapi respons atau tanggapan berbeda akan kita dapati dalam tujuh cerita pendek yang ditulis Haruki Murakami dalam bukunya, “Lelaki-lelaki tanpa Perempuan”. Di sini kita akan temukan bagaimana laki-laki akan memilih pergi ketika diselingkuhi dan dikhianati, menyimpan perasaannya dalam-dalam ketika jatuh cinta, memilih sakit hati sendiri daripada harus menyakiti pasangannya, dan segala jenis tindakan dan perasaan yang ditanggung sendiri.
Haruki Murakami, sastrawan Jepang fenomenal, memang kerap mengangkat tema-tema sederhana seputar hubungan asmara laki-laki dan perempuan. Namun, yang dimiliki oleh Murakami dan (nyaris) tidak oleh pengarang lain adalah gaya berceritanya yang mudah dikenali namun begitu rumit sekaligus mengasyikkan. Jadi cerita-cerita yang dia tulis—pengumuman bagi pembaca ulasan ini dan belum membaca Murakami—bukan sejenis roman picisan khas sinetron yang kerap dicemooh dan dikritik itu.
Cerita pendek Murakami juga sebetulnya ‘panjang’, bisa sampai 30an halaman untuk satu cerita. Bisa kalian bayangkan sendiri, dalam 262 halaman hanya ada 7 cerita. Tapi, ini sudah diakui oleh banyak pembacanya, membaca Murakami tidak tentang pendek atau panjangnya halaman, tapi soal kenikmatan menjelajahi gaya menulisnya yang seru dan menantang.
Kita mulai dari cerpen pembuka, “Drive My Car”. Tokoh utamanya bernama kafuku yang diselingkuhi berkali-kali oleh istrinya sendiri. Namun anehnya, meski tetap ada rasa sakit hati (perasaan yang sangat manusiawi), Kafuku justru memilih tidak pernah mengungkit perselingkuhan itu kepada istrinya. Kafuku memilih diam sampai akhirnya istrinya meninggal dunia. Dari sinilah dia bertemu dengan sopir pribadi istrinya, dan menumpahkan semua kisah perselingkuhan istrinya. Lebih aneh lagi, Kafuku justru berteman dengan selingkuhan terakhir istrinya hanya untuk mengorek-ngorek banyak hal terkait mendiang istrinya.
Pada cerpen-cerpen berikutnya, “Yesterday”, atau “Organ Mandiri”, dan “Syahrazad”, masih memiliki nuansa seperti cerita pertama di atas, “Drive My Car”. Laki-laki dalam tiga cerita ini sedikit banyak memiliki kesamaan karakter dengan laki-laki dalam cerita pertama. Ada yang memilih pergi ketika dikhianati, ada yang mengurung diri hingga meninggal, dan ada pula yang melakukan perjalanan jauh seusai diselingkuhi.
Sungguh respons yang ganjil. Dan barangkali hanya dalam cerita-cerita Murakami kita mendapatkan karakter laki-laki seperti itu.
Tiga cerita sisanya tidak kalah ganjilnya dalam hal bagaimana laki-laki menanggapi perselingkuhan dan pengkhianatan. “Kino”, “Samsa Jatuh Cinta”, dan “Lelaki-lelaki tanpa Perempuan” masih berurusan dengan laki-laki yang diselingkuhi dan dikhianati, meski dengan kadar yang tidak terlalu banyak dibanding cerita-cerita sebelumnya. “Kino” berkisah tentang seorang lelaki bernama Kino yang pergi dan membangun barnya sendiri usai dikhianti.
“Samsa Jatuh Cinta” mungkin sedikit unik karena bagi pembaca karya-karya Franz Kafka akan tahu bahwa cerita ini berangkat dari ‘respon’ Murakami terhadap karya monumental Franz Kafka berjudul “Metamorfosis”. Jika dalam “Metamorfosis” diawali dari seorang laki-laki bernama Gregor Samsa yang pada suatu pagi mendapati dirinya menjadi serangga besar di dalam kamarnya, maka dalam “Samsa Jatuh Cinta” justru sebaliknya, makhluk lain tiba-tiba mendapati dirinya berubah menjadi Samsa.
Dan dalam “Samsa Jatuh Cinta” tetap berurusan bagaimana laki-laki berurusan dengan perempuan dan tanggapan mereka ketika perempuan berlaku ganjil kepada mereka.
Cerita terakhir, “Lelaki-lelaki tanpa Perempuan”—yang menjadi judul sampul buku karena barangkali dianggap mewakili karakter semua cerita—berkisah tentang seorang laki-laki yang menerima kabar dari seorang laki-laki lain yang adalah suami mantan pacarnya. Laki-laki pemberi kabar mengatakan jika istrinya sudah meninggal dunia. Lalu sepanjang cerita 30an halaman, dengan cerewet dan bernada solilokui si laki-laki itu bercerita tentang kenangan-kenangannya bersama mantan pacarnya tersebut.
Seperti itulah gambaran sekilas laki-laki dalam tujuh cerita dalam buku “Lelaki-lelaki tanpa Perempuan”-nya Haruki Murakami. Perempuan sendiri di dalam cerita-cerita ini tidak sepenuhnya hadir secara fisik, tapi hanya berupa obyek yang dikisahkan. Namun mereka sudah menjadi masalah yang begitu sulit dipecahkan oleh semua laki-laki yang ada dalam seluruh cerita dalam buku ini.
Begitu terkesan lugu dan tulus—meski tetap ada perasaan sakit hati yang samar—laki-laki dalam buku ini. Sebagaimana dapat kita rasakan dalam satu kalimat akhir dalam cerita terakhir,
“Lelaki-lelaki tanpa Perempuan.”
“Sebagai salah seorang dari lelaki-lelaki tanpa perempuan, aku berdoa demikian dari lubuk hatiku. Sepertinya tak ada yang bisa aku lakukan selain berdoa. Setidaknya saat ini. Mungkin.”
Tambahkan Komentar