Judul : Rumah Kertas
Penulis : Carlos Maria Dominguez
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun terbit : Desember 2018
Tebal : 76 halaman
Barangkali kita sudah biasa mendengar ‘fungsi-fungsi’ buku, di luar kegunaannya yang benar dan semestinya, adalah untuk mengganjal pintu, sebagai bantal penyangga kepala, sandaran hape, kipas tangan saat gerah, dan sebagainya. namun, pernahkah membayangkan dan diyakinkan bahwa buku bisa menjadi batu bata sebuah bangunan rumah?
Jika belum, saya sarankan kalian membaca satu novel sangat ringkas (76 halaman) dan berukuran mini (sedikit lebih lebar dari telapak tangan orang dewasa) berjudul “Rumah Kertas”, karangan Carlos Maria Dominguez. Bukan hanya itu, berbagai bentuk kegilaan seputar dunia buku dikisahkan dengan detail. Mulai dari kisah para pemburu dan pencuri buku, para penerbit indie dan mayor dalam sejarah, berbagai tipe pemilik perpustakaan pribadi, dan sebagainya.
Intinya, novel ringkas ini—di luar kisah utamanya—dalam alurnya memberikan informasi penting dan menarik kepada kita bagaimana peradaban dunia buku itu bekerja. Kita akan memahami buku bukan sekadar buku, perpustakaan bukan semata rak-rak dengan buku berderet, namun ada jiwa di sana, ada kisah rahasia tentang orang-orang yang rela berlarat-larat dengan dunia kata, berepot-repot dengan kemoceng pembersih debu, dan ada para pemburu buku yang ambisius dan ‘gila’.
Dan sebagai ‘bonus’, kita akan dihamparkan bejubel judul-judul buku sastra dunia, khususnya Amerika Latin. Ini tentu saja menjadi informasi menarik buat para pembaca sastra. Apalagi dikisahkan pula bagaimana buku itu ditulis dan diburu oleh para pembacanya. Di sini kita akan memahami bahwa dunia buku nyaris serupa barang komoditi berharga lainnya, seperti emas dan batu mulia, yang diburu, dijual atau dilelang. Dan para pemburu buku sama antusiasnya dengan para pembeli pada acara lelang lukisan terkenal dunia.
Lalu kisah buku ini soal apa?
Pada intinya, buku ini berkisah tentang seseorang bernama Carlos Brauer. Brauer ini adalah penggila buku yang sangat ambisius. Pada masa pensiunnya ia tinggal seorang diri—ia dan istrinya telah bercerai. Di rumahnya ia merawat perpustakaan pribadinya dengan sangat teliti. Ia memburu buku-buku langka, menghadiri pelelangan buku, dan selalu membuat iri para pemburu lainnya yang membuat dia dibenci sebagian kalangan pecinta buku atas laku rakusnya itu.
Alurnya dimulai dari satu tragedi: seorang profesor sastra bernama Bluma lennon mati tertabrak mobil di tikungan. Peristiwa itu terjadi pada musim semi 1998. Saat tertabrak, sang profesor ini tengah membaca buku puisi Emily Dickinson, “Poems”. Tragedi kematian ini lantas menyulut perdebatan kalangan akademisi, apakah sang profesor mati tertabrak mobil atau mati karena puisi?
Setelah kematian sang profesor, kantornya pada Jurusan Sastra Amerika Latin di Universitas Cambridge ditempati dan posisinya sebagai tenaga pengajar sastra digantikan oleh seseorang ‘aku’, yang kemudian menjadi narator kisah ini. Dari sang narator inilah kisah tentang Carlos Brauer, sang penggila buku kita ini mengalir.
Itu dimulai pada suatu hari si narator menerima paket buku tebal berjudul “The Shadow Line” karya Joseph Conrad dari Uruguay. Buku itu untuk sang profesor yang kita tahu telah meninggal dunia. Bukunya kotor dan penuh dengan sisa-sisa semen pada hampir sekujur kertasnya. Ditambah catatan pendek di dalamnya, maka terbitlah kecurigaan si narator, dan berniat mengembalikan buku itu ke pemiliknya.
Niat itulah yang kemudian membawa narator kita ini berangkat ke Uruguay, melakukan penelusuran, mencari alamat si pemilik buku. Nah, dalam perjalanan menyusuri si pemilik buku inilah kita akan disajikan kisah-kisah peradaban dunia buku dengan segala kemuliaan dan kegilaannya—seperti telah dijelaskan pada awal tulisan ini—yang sangat memanjakan pikiran kita.
Nah, selain itu, penelusuran itu juga menguak lamat-lamat kisah dan hubungan sang profesor yang meninggal tertabrak mobil itu dengan Carlos Brauer. Tirainya tersibak perlahan-lahan. Rupanya si Carlos Brauer pernah bertemu dengan Bluma si mendiang pada sebuah acara di Monterrey. Brauer ditawan oleh kecantikan sang professor.
Meskipun, sesungguhnya si Carlos Brauer tidak pernah hadir utuh dalam novel ini. Kisah tentang si Brauer dilontarkan oleh para sahabatnya kepada si narator, dan si narator sampai akhir cerita tidak akan pernah bertemu dengan si Brauer—dia hanya akan mendapati puing-puing bangunan si Carlos di pinggir pantai, yang berasal dari buku-bukunya sendiri, ambruk dan dihisap pasir pantai.
Sedikit fokus ke kisah Brauer: satu tragedi menimpanya—lemari besar berisi katalog buku-bukunya terbakar habis dilalap oleh api lilin. Padahal katalog-katalog itu adalah kerja tidak kenal lelah yang dia lakukan. Dia menaruh semacam eksperimen ambisius pada kerja katalogisasi itu untuk membantu dunia perpustakaan.
Peristiwa ini membuat Brauer patah arang. Ditambah mantan istrinya yang menuntut bagian keuangan melalui pengacaranya. Singkat cerita, si Brauer menjual rumahnya dan pergi ke sebuah daerah pantai. Di sinilah dia menyewa tukang untuk membangun sebuah rumah, dan kalian pasti tahu, buku-bukunya itulah yang menjadi batu-batanya. Para tukang tersebut tidak banyak bertanya, dan menjalankan perintah dengan baik. Si Brauer telah membangun rumah kertasnya sendiri.
Pada mulanya semuanya baik-baik saja. Sampai surat dari Bluma, sang profesor yang meninggal tertabrak mobil itu, datang. Si professor meminta buku yang pernah diberikan kepada Brauer untuk dikembalikan lagi atas alasan praktis—ia tak bisa mengajar tanpa buku itu. Kalang kabut lah si Brauer. Di mana ia mesti mencari buku itu? Sementara buku tersebut telah menjadi batu bata untuk rumah kertasnya.
Ia lalu mengambil palu dan mengetok-ngetok palunya di berbagai sudut. Setelah buku itu didapatkan, sialnya, bagian-bagian yang ia ketok rusak. Tak mungkin dipugar lagi. Rubuh dan dihisap pasir. Begitulah takdir akhir ambisi Carlos Brauer.
Jika anda pembaca buku, khususnya sastra, dan memiliki perpustakaan pribadi: saya jamin buku kecil ini akan membawa gaung atau gema besar seusai kalian membacanya. Buku adalah jendela dunia dan peradaban. Maka perpustakaan adalah surganya. “Membangun perpustakaan adalah mencipta kehidupan. Perpustakaan tak pernah menjadi kumpulan acak dari buku-buku belaka.” (halaman 26).
Maka, karena buku ini mungil, janganlah buru-buru menyelesaikannya. Bacalah perlahan, resapi ceritanya juga informasinya seputar dunia buku. Jika kalian belum membacanya, saya rekomendasikan ini jadi bacaan selingan di kala kalian menunaikan ibadah puasa nanti.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Tetap sempatkan membaca buku ya. bacalah satu atau dua cerita pendek. Atau satu novel pendek yang bisa dibaca sekali duduk seperti “Rumah Kertas” ini.
Tambahkan Komentar