
Readtimes.id– Pemerintah memperkirakan lonjakan Omicron di Indonesia bisa mencapai dua sampai tiga kali lipat varian Delta di akhir Februari. Oleh karenanya, masyarakat perlu tetap waspada agar Indonesia tidak lagi menjadi episentrum penularan Covid dunia.
Patut diketahui Indonesia pernah dinobatkan sebagai episentrum Covid dunia oleh sebuah media asal Amerika Serikat (AS), The New York Times, pada Juli 2021. Hal itu tidak lain karena jumlah kasus harian di Indonesia melampaui India dan Brasil dengan lebih dari 50.000 kasus akibat varian Delta yang menyapu seluruh Asia Tenggara di pertengahan tahun 2021.
Saat itu di beberapa daerah, lonjakan kasus ini membuat fasilitas pelayanan kesehatan melampaui batasnya. Bahkan beberapa rumah sakit mengambil langkah darurat untuk menambah kapasitas dengan cara membuka tenda darurat.
Tidak hanya itu banyak pula tenaga kesehatan yang gugur akibat kewalahan menangani pasien. Tercatat setidaknya hingga Oktober 2021 saja ada 2.032 tenaga kesehatan Indonesia yang meninggal dunia.
Menurut data LaporCovid-19 730 diantaranya adalah dokter, 670 perawat dan 388 bidan juga menjadi korban Covid-19. Ini belum ditambah dengan puluhan profesi medis lainnya.
Kendati laporan The New York Times dinilai kurang bisa menggambarkan situasi Covid-19 yang sebenarnya karena terbatasnya pengetesan. Namun, hal ini dapat menggambarkan bahwa Indonesia pernah begitu kewalahan menghadapi lonjakan kasus.
Mengutip berbagai sumber, ahli epidemiologi di Griffith University Australia, Dicky Budiman, saat itu bahkan memperkirakan jumlah kasus Covid-19 Indonesia sebenarnya 3 hingga 6 kali lebih tinggi daripada yang dilaporkan oleh media asing.
Hal yang tentu tidak diharapkan terulang kembali ketika Indonesia menghadapi Omicron tahun ini. Karena seperti yang diketahui meskipun gejala Omicron lebih ringan dibandingkan Delta namun penularannya lebih cepat.
Seperti yang diketahui menurut data dari Kemenkes per 31 Januari 2022 saja, total kasus Omicron di Indonesia telah mencapai 2.980 Kasus.
Skenario Pemerintah
Dalam menghadapi lonjakan Omicron, harus diakuinya pemerintah Indonesia kali ini jauh lebih siap ketimbang varian-varian sebelumnya dengan berbagai macam skenario.
Indonesia bahkan belajar dari pengalaman negara lain yang telah lebih dulu mengalami lonjakan Omicron untuk membuat sebuah desain kebijakan.
Sejak awal tahun, pemerintah bahkan telah menyampaikan prediksinya terkait lonjakan Omicron di Indonesia yang diperkirakan terjadi pada akhir Februari hingga Maret.
Selain membatasi bepergian ke luar negeri serta aturan karantina untuk mereka yang baru pulang dari perjalanan luar negeri, pemerintah juga telah menjalankan program vaksinasi dosis tiga atau booster secara gratis.
Baca Juga : Kebijakan Vaksin Booster dan Persoalan Teknis Vaksinasi yang Harus Dibenahi
Adapun berikutnya adalah ketersediaan lebih dari 20 juta dosis obat. Selain vaksin, pemerintah juga memastikan ketersediaan obat-obatan. Khusus untuk pasien yang bergejala ringan dihimbau untuk cukup mengkonsumsi vitamin, obat anti panas dan antivirus melalui telemedicine. Adapun Avigian atau Favipiravir dan Molnupiravir adalah sejumlah obat anti virus yang belakangan direkomendasikan oleh lima organisasi profesi dan ahli kedokteran.
Selain itu, khusus untuk pasien yang gejala ringan atau tanpa gejala dengan saturasi oksigen di atas 95 persen, dihimbau oleh pemerintah melalui Menteri Kesehatan Budi Sadikin untuk menjalani isolasi mandiri untuk mengurangi beban rumah sakit.
“Kalau posisi seperti ini (tidak bergejala) dia bisa sembuh sendiri. Kalau ringan, ada gejala batuk, pilek, tapi juga saturasinya masih baik di atas 95 persen, itu juga bisa dirawat sendiri di rumah,” terang Budi dalam konferensi pers virtual, Kamis (27/1).
Namun apabila rumah tidak memungkinkan untuk dijadikan tempat isoman karena terlalu padat dengan anggota keluarga, Budi menyarankan untuk pindah ke tempat isolasi terpusat seperti di RSDC Wisma Atlet.
Kendati demikian sekali lagi skenario pemerintah ini tidak akan pernah cukup untuk menghadapi Omicron tanpa partisipasi masyarakat di dalamnya, minimal dengan mematuhi protokol kesehatan dasar dalam kehidupan sehari-hari. Karena seperti adagium kesehatan lama, bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati ?
Baca Juga : Skenario Pemerintah Tak Cukup, Butuh Kesadaran Publik Menghadapi Lonjakan Omicron
Editor : Ramdha Mawadda
Tambahkan Komentar