Readtimes.id– Briptu Sanjaya, divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar, atas tindak pelecehan seksual fisik terhadap tahanan perempuan.
Hakim menyatakan Briptu Sanjaya terbukti secara sah dan berjanji melakukan tindak pidana kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c Jo. Pasal 15 huruf c UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS. Atas perbuatannya, Sanjaya dihukum 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp10 juta atau subsider 2 bulan penjara.
Hukuman ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa, yang menuntut pelaku 10 tahun penjara. Atas putusan tersebut, LBH Makassar selaku Tim Penasehat Hukum Korban menilai vonis yang diberikan tidak merepresentasikan sistem peradilan yang adil terhadap korban kekerasan seksual.
Hakim dinilai gagal melihat pola kekerasan berulang yang dialami korban, serta relasi kuasa antara pelaku dan korban.
“Sepatutnya, dengan adanya keterangan korban ditambah 2 orang saksi lainnya yang dihadirkan dalam ruang sidang, Majelis Hakim bisa dengan menemukan pola kekerasan yang dilakukan pelaku, sehingga mengakibatkan korban
mengalami kekerasan seksual lebih dari sekali dengan bentuk kekerasan seksual yang berbeda,” ujar Mirayati Amin selaku Penasehat Hukum, dalam keterangan pers yang diterima Readtimes pasa Kamis, 12 September.
Menurut tim hukum, relasi kuasa tersebut menimbulkan situasi rentan dan tidak setara, tidak hanya antara pelaku dan korban, tapi berlaku juga bagi tahanan dan aparat kepolisian secara umum. Hal ini bisa dilihat dari adanya intimidasi yang diterima korban sejak awal dia mendapatkan tindak pelecehan.
“Dalam proses pemeriksaan lainnya, kita bahkan bisa mendengar bagaimana relasi kuasa antara korban yang berstatus tahanan dan pelaku yang merupakan aparat kepolisian, ikut menjadi penyumbang kejahatan pelaku,” tegas Mirayati Amin.
Lanjut kata Mira, bahkan ketika korban mulai berani melaporkan pelaku ke Direktur Dit Tahti Polda Sulsel, kemudian berlanjut ke Propam Polda Sulsel, intimidasi tersebut tidak berhenti.
Korban, bahkan sempat berniat tidak melanjutkan kasusnya. Korban takut proses hukum yang dia jalani akan dipersulit. Namun, pada akhirnya korban memilih tetap melaporkan pelaku hingga ke SPKT Polda Sulsel, karena sadar kekerasan yang dialami harus berhenti.
Sementara itu menurut Hutomo M. P., Koordinator Bidang Hak-Hak Sipil dan Politik, menilai putusan oleh Majelis Hakim terhadap Briptu Sanjaya sangat jauh dari rasa keadilan semangat mencegah kekerasan seksual utamanya pelaku yang melibatkan aparat.
Menurut Hutomo, mengingat bahwa Sanjaya merupakan anggota Polri yang notabene merupakan aparat penegak hukum, Majelis Hakim sepatutnya memberikan hukuman yang setimpal atas perbuatan yang telah dilakukan.
“Dalam hukum pidana, posisi seseorang sebagai penegak hukum itu merupakan alasan pemberat hukuman jika ia melakukan tindak pidana,” tambah Hutomo.
Berdasarkan putusan Majelis Hakim yang memvonis ringan, LBH Makassar menilai putusan tidak memberikan rasa keadilan bagi korban, termasuk gagal dalam melihat posisi pelaku yakni merupakan anggota Polri yang memiliki kuasa yang sepatutnya bertanggung jawab atas perbuatannya.
LBH Makassar Mendesak agar Jaksa Penuntut Umum melakukan upaya banding atas vonis ringan Briptu Sanjaya yang diberikan Majelis Hakim.
Editor: Ramdha Mawaddha
Tambahkan Komentar