RT - readtimes.id

Budaya Dinasti Politik di Indonesia

Readtimes.id-  Regulasi, Undang-Undang No.8 tahun 2015, setelah mengalami revisi dan  berubah menjadi dinasti politik hingga terlaksana sampai sekarang. Kehadiran dinasti politik yang melingkupi perebutan kekuasaan di level regional hingga nasional tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi tentang Pilkada. Oligarki di tubuh partai politik dapat dilihat dari kecenderungan pencalonan kandidat oleh partai politik lebih didasarkan atas keinginan elit partai, bukan melalui mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon. Secara bersamaan, dinasti politik terus membangun jejaring kekuasaannya dengan kuat hingga mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik. 

Dalam konteks masyarakat juga terdapat upaya menjaga status quo di daerahnya dengan mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah menggantikan petahana. Regulasi yang lemah untuk memangkas dinasti politik turut menjadi penyebab meluasnya dinasti politik dalam Pilkada. Praktik politik dinasti juga ditengarai menjadikan lemahnya fungsi checks and balances hingga berdampak pada tindakan korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah beserta kerabatnya

Dinasti Politik di Indonesia, tidak sedikit orang yang tidak menyukainya. Hasrat dengan adanya kekuasaan dan kemungkinan untuk meneruskan kepemimpinan dari orangtuanya. Kenapa tetap langgeng? Karakter politik masyarakat Indonesia, mereka hanya menerima informasi singkat dan mampu menganalisa. Contoh, seorang bapak yang menjadi kepala daerah, yang cukup mempengaruhi pemilih di salah satu wilayah. Hanya menganggarkan kebutuhan dasar masyarakat seperti alat pertanian. Sehingga masyarakat akan melihat bahwa itu adalah sebuah informasi singkat yang diberikan. Ketika anaknya yang menjadi kepala daerah tidak begitu sulit lagi untuk memberikan edukasi ke pemilih. 

Partai politik secara umum, juga merasakan dampak negatif dari terjadinya dinasti politik. Ketika terjadi korupsi akan mengalami degradasi. Ketika jejaring keluarga  masuk pada politik dinasti baik itu legislatif baik tingkat kabupaten kota, dan sebagainya, jika korupsi terungkap,maka partai politik yang mengusungnya, minimal fleksibilitas partai tersebut daerah dimana dia mengusung kepala daerah yang terjadi korupsi. Itu akan mengalami degradasi

Namun harus disadari bahwa, partai politik tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kuota seluruh pemilihan legislatif (Pileg) atau seluruh Pilkada. Modal kepala daerah tidak hanya modal visi dan misi, tidak hanya cerdas tetapi punya resold untuk membumikan apa yang menjadi visi misi. Sehingga laris dipasaran, bisa dipasarkan oleh pemilih. Pilkada yang mahal dan untuk menyampaikan informasi tentang caLon kepala daerah pendekatannya bisa dengan metode pendekatan mellennial. Biayanya berbeda dengan pendekatan dengan tetangga rumah kita. 

Kebutuhan partai politik dengan menyeleksi sebanyak mungkin pemenang di dalam Pilkada, sementara pilihannya tidak bisa lari dari orang masuk dalam dinasti politik. Negara sebenarnya punya terobosan dengan mengeluarkan aturan tentang calon independen. Namun, tidak bisa memecahkan persoalan, meski ada penetapan calon pada akhirnya pemilih tidak lagi melihat dia berasal dari partai mana, apakah dia calon independen. Pada akhirnya pemilih akan melihat, siapa, anaknya siapa dan pada akhirnya masyarakat hanya melihat itu. 

Pengaruh tokoh masyarakat  masih semakin tinggi, utamanya di Sulawesi Selatan sehingga pemilih di bawah, hanya menerima informasi singkat saja. Tidak ada usaha untuk menganalisa informasi yang masuk. Sehingga bisa menjadikan mereka menjadi pemilih yang belum cerdas. Kemudian dinasti politik ini mengalami modifikasi regenerasi dimana ada satu daerah yang dipimpin mulai dari bapak, kakak, adik, anaknya. Ada juga dinasti politik bukan dari regenerasi tapi lintas profesi, bapak jadi bupati, anak ketua DPRD, kemenakan jadi legislatif atau beberapa SKPD. Kemudian dinasti politik lintas daerah. Ini bentuk-bentuk yang terjadi pada dinasti politik. Kenapa ini sampai ada dan bagaimana hal tersebut bisa membudaya? 

Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) kembali menggelar bincang-bincang policy brief, dengan tema,”Budaya Politik Dinasti di Indonesia.” Minggu, 25 April 2021 di KOPI IDE Makassar. Menghadirkan Shalehin Pengurus DPD I Golkar Provinsi Sulawesi Selatan, Sumarni Susilawati sebagai PW Nasyiatul Aisyiyah (Muhammadiyah) Sulawesi Selatan, serta moderator M. Kafrawy Saenong S.Sos., M.Si. Policy brief dalam rangka pembuatan kertas kebijakan dengan kader-kader muda partai politik dan CSO yang ada di Sulawesi Selatan. Kegiatan ini disiapkan selama kurang lebih selama setahun, dalam upaya nantinya partai politik semakin relevan, responsif dan  inklusif baik secara internal maupun eksternal.   

Pemantik diskusi, Shalehin mengatakan secara etimologi, Budaya Dinasti politik ketika berbicara tentang kerajaan. Sementara ketika ditarik dalam wacana dinasti politik tentu mendapatkan pemahaman yang berbeda. Ada sebuah prinsip seseorang cenderung untuk mendikte mereplikasi lingkungan kedekatan. Kita melihat bahwa dinasti politik meneruskan kekuasaan dalam kita berkeluarga. Seseorang akan cenderung menduplikasi apa yang di lingkungan terdekatnya. Seorang anak yang melihat orang tuanya seorang insinyur, ada kemungkinan ketika besar Mau Jadi Apa? Seorang anak ketika orangtuanya profesi guru, ada indikasi anaknya juga akan menjadi guru. Ketika profesi yang dilakoni adalah seorang politisi, seorang kepala daerah dan dia merasa itu adalah profesi yang nyaman dan masuk akal bagi dia. Begitupun ketika melihat orang tuanya sebagai kepala daerah ada kecenderungan anaknya bercita-cita ke arah situ.  

“Dinasti politik terjadi sejak otonomi daerah dan sejak Pilkada. Sudah mulai terbentuk dari jejaring dan beberapa keluarga dan kemudian kita lihat di berbagai daerah terjadi persaingan sengit,  mulai dari pemilihan kepala daerah, kepala desa, legislatif dan sebagainya. Contoh lainnya presiden, calon gubernur, sudah mulai tersentuh yang namanya dinasti politik sampai ke jejaring yang paling bawah,”ujar Shalehin. 

Dinasti politik masih jarang dibicarakan masyarakat umum. Namun,  menarik perhatian oleh teman-teman aktivis dan kader partai. Sehingga tujuan dari policy brief ini kita bisa mengedukasi masyarakat terkait dengan dinasti politik itu sendiri. 

Sumarni Susilawati mengatakan bahwa dinasti politik dulu kita kenal ada di sistem kerajaan, ada pewaris takhta dari kerajaan kemudian diturunkan ke anaknya. Menurut sejarawan bahwa dinasti politik ini memang merupakan kulture yang kemudian Indonesia menganut sistem demokrasi, belum bisa menghilangkan budaya dinasti itu hingga sekarang, itu kental dari sejarah-sejarah sebelumnya.

Sehingga masih ada yang berusaha untuk mempertahankan proses dinasti itu. Proses dinasti terjadi melihat orang tuanya yang bekerja sebagai politikus atau beraktivitas sebagai kepala daerah dan sebagainya. Karena memang kondisi kita di Indonesia khusus  masyarakatnya. Sampai hari ini, dinasti politik terus berkembang di Indonesia. Dinasti politik semakin meningkat dari pada pilkada 2015 dan 2020. Dimana tahun 2020 itu ada sekitar 158 peserta yang merupakan yang ada hubungan kekerabatan dengan pejabat sebelumnya. 

“Dinasti politik di Indonesia, bukan hanya kalangan elit tingkat pusat, tetapi sampai dengan di tingkat daerah. Bahwa salah satu dampak dengan adanya dinasti politik. Tertutupnya ruang bagi teman-teman yang lain yang mungkin juga memiliki potensi,  kualitas, tetapi karena dinasti politik, ada keterbatasan kader dan finansial untuk biaya pilkada dan sebagainya,” ujarnya.  

Kebijakan bersama khususnya partai politik memiliki aturan sendiri, ada anggaran dasar untuk memaksimalkan potensi kader masing-masing. Sehingga memang itu yang perlu dijalankan sehingga ideal. Adanya dinasti politik mematahkan semua. Ketika ada kader yang  memiliki potensi, tapi tidak berproses di dalam partai politik. Meski sudah direkomendasikan untuk maju ke Pilkada seperti calon legislatif, bupati , akan menjadi terhambat.  

Sebaiknya, dalam pencalonan minimal paham dan bagaimana menjalankan pemerintahan. Bukan tiba masa tiba akal. Ketika terpilih baru setengah mati mencari misalnya peraturan daerah, belajar bagaimana memanajemen pemerintahan dan sebagainya. Untuk melanjutkan kepemimpinan yang berkualitas, punya integritas dan berkompeten. Bukan  popularitas yang bagus dan bisa memenangkan partai dan sebagainya.  Ada mindset berpikir dimasyarakat yang kita bersama-sama mengedukasi masyarakat. 

Rahmat Arsyad peserta diskusi menanggapi bahwa proses dinasti politik  menjadi kental masa Rasulullah dan hampir semua kebudayaan kita bukan hanya di Indonesia menganut Dinasti Politik. Apakah dinasti politik ini menghambat demokrasi, mungkin salah satu tools atau cara untuk.menghambat dimana pasangan dinasti politik tidak berada dalam demokrasi dan kekuasaan. Karena demokrasi merupakan akses dan koloni yang sama. 

“Bagi saya itu bisa terlibat dalam proses politik. Dinasti politik menjadi trend, sehingga harus melakukan penguatan pada elemen demokrasi. Proses demokrasi salah satunya untuk melawan proses dinasti politik ini. Agama dinasti, politik dinasti, kebudayaan dinasti, sesuatu yang susah kita lihat, kecuali membuka instrumen. Dimana kanal dan pintu yang sama bagi semua untuk bisa masuk disana. Baik pada partai politik membuka akses melakukan kaderisasi politik, rekrutmen, dan sosialisasi politik yang terbuka,” ujar Rahmat   

Andi Ahmad Yani menambahkan, Dinasti politik adalah sebuah kekuasaan paling purba. Ada beberapa tahapan pada partai politik berdasarkan darah. Ketika orang membangun relasi berdasarkan darah. Tentu berlanjut bagaimana cara membangun hubungan dengan orang-orang diluar darah. Membangun relasi dengan yang lain. Kita inginkan, partai politiklah yang memberikan seleksi kepada mereka yang yang ingin menjadi pemimpin. Karena partai politik  merupakan nadi dari demokrasi. Kalau tidak ada partai politik, demokrasi menjadi  gagal. 

Harapan kita dari apa yang kita diskusikan adalah menguatkan partai politik cara internal dan didalam internal mereka ada sebuah sistem. Memilih orang karena kapasitasnya dan memilih karena suara terbanyak. Pada dasarnya semua yang dipilih adalah orang-orang terbaik. Berharap teman-teman di partai politik, di masyarakat. Demokrasi kita gunakan untuk memilih kepada orang yang punya kapasitas. Money politik akan hilang, yang sedikit demi sedikit akan berubah, nantinya kita akan mendapatkan tokoh seperti Ibu Risma dan Ridwan Kamil.

Ona Mariani

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: