Judul: Chairil
Penulis: Hasan Aspahani
Tahun Terbit: 2017 (Cetakan kedua)
Penerbit : Gagas Media, 2017
Deskripsi Fisik xxi, 315 halaman ; 21 cm
“Aku ingin hidup seribu tahun lagi…” Ini salah satu cuplikan puisi penyair besar Indonesia, Chairil Anwar. Penyair yang memberi pengaruh besar pada perjalanan sejarah sastra Indonesia ini masih terus ‘hidup’ dalam kurikulum dan pelajaran Bahasa Indonesia. Namun demikian, nampaknya orang lebih banyak menghafal puisinya daripada perjalanan hidupnya sendiri. Dalam banyak referensi yang mengulik kisah hidup penyair sohor kita ini, sebagian besar mengarah pada satu gambaran yang identik: kehidupan Chairil Anwar itu liar dan penuh rasa sakit.
Keliaran itu terbukti pada satu cerita yang barangkali mengejutkan bagi kita: pengalaman Chairil mencuri buku. Selain cerita lainnya yaitu mencuri cat dan seprai milik kempetai Jepang hingga ditangkap dan dipukuli.
Namun demikian, apa yang dilakukan Chairil bukan tanpa alasan. Pencurian yang dilakukannya bukan tindakan yang murni sebagai sifat personal yang buruk, namun merupakan dampak dari kolonialisme Jepang. Mungkin sudah banyak biografi atau kisah hidup berisi kesaksian menyangkut perjalanan hidup penyair ceking itu. Namun ada buku mutakhir cetakan 2019 lalu yang ditulis oleh penyair kontemporer Indonesia, Hasan Aspahani. Judul buku itu, “Chairil Sebuah Biografi”, diterbitkan oleh Gagas Media.
Buku itu hasil penelitian delapan bulan Hasan Aspahani, dia menelusuri 40an buku dan sumber-sumber sekunder yang kuat. Hasilnya berupa buku dengan narasi yang segar yang akan menghidupkan Chairil—si penyair generasi 45 itu—menjadi sosok yang bergelut dengan kehidupan yang berat. Jadi ini buku yang sangat direkomendasi, karena ditulis oleh penyair—tentang penyair.
Lalu bagaimana kisah detailnya tentang pencurian buku itu? Baik, untuk memahami tindakan ini, kita perlu memahami konteks sejarah saat Chairil Hidup. Jadi dalam buku Hasan Aspahani itu, diceritakan bahwa kolonialisme Jepang sangat berpengaruh secara ekonomi dan emosi Chairil. Bagaimana tidak, akibat control ketat Jepang terhadap kehidupan masyarakat membuat kiriman uang dari orang tua Chairil di Sumatera menjadi tersendat—ditambah pula di Sumatera penjajah Jepang juga menerapkan control yang sama ketatnya dengan di Pulau Jawa. Tekanan ekonomi yang berat ini juga komplit dengan kenyataan bagaimana Chairil sangat membenci penjajah secara umum, dan jepang secara khusus.
Sebab itulah, ketika Chairil yang dikenal rakus buku oleh teman-temannya ini mencuri buku di Pasar Senen milik orang Belanda. Barangkali dia tidak pernah merasa bersalah, dan itu adalah upayanya untuk melampiaskan rasa bencinya terhadap kolonialisme. Tindakan pencurian buku ini seperti mendapat semacam ‘restu’ dari teman-teman sesame penyair atau penulis. Tak kurang dari Mochtar Lubis, penulis terkenal dunia, yang sering membantu Chairil dalam hal keuangan, karena dia tahu bakal mendapat balasan berupa buku hasil curian Chairil.
Beberapa penyair lainnya pernah juga diajak mencuri buku oleh Chairil. Betapa bengalnya penyair kita ini.
Mungkin dalam curi-mencuri buku ini Chairil sedikit beruntung. Tapi aksi pencurian yang lain Chairil pernah kena batunya. Ini dimulai dari permintaan Chairil kepada sahabatnya yang pelukis atau perupa untuk melukis wajahnya. Namun rupanya temannya itu mengaku kehabisan cat.
Nah, barangkali karena alasan inilah Chairil tertangkap saat mencuri cat dan seprai milik kempetai atau opsir Jepang. Dia lantas dipukuli dan diadili. Nahas benar, nasibnya, padahal sebelum-sebelumnya dia bebas saja melenggang di daerah kekuasaan Jepang. Nahas benar nasibnya.
Chairil yang dikenal juga sebagai penyair pencipta puisi “Binatang Jalang” ini memang akan selalu dikenang dalam sejarah sastra Indonesia. Tapi nampaknya perlu bagi kita mempelajari dan memahami kisah hidupnya untuk tahu bagaimana puisinya lahir dan dari mana inspirasi puisinya datang. Dengan cara begitu biasanya puisi seorang penyair akan punya kekuatan tersendiri bagi kita yang membacanya.
2 Komentar