Readtimes.id– Kesungguhan mayoritas fraksi di DPR dalam mendukung kehadiran payung hukum untuk korban kekerasan seksual layak dipertanyakan. Hal ini menyusul batalnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masuk dalam agenda Rapat Paripurna DPR yang digelar Kamis (16 /12).
Seperti yang diketahui, ini bertolak belakang dengan sikap mayoritas anggota dan pimpinan DPR yang belakangan gemar mengutuk tindakan kasus kekerasan seksual dan menyuarakan betapa pentingnya kehadiran RUU TPKS.
Sebut saja Puan Maharani yang dalam beberapa kesempatan kerap kali menunjukkan dukungannya pada RUU yang kini jika dihitung-hitung telah memasuki tahun ke-9 di DPR dan tidak kunjung disahkan.
Namun, keseriusan itu kini terhalang oleh dalih tidak cukup waktu untuk memasukkan RUU tersebut ke paripurna.
“Ini hanya masalah waktu, karena tidak ada waktu yang pas atau cukup untuk kemudian dirundingkan secara mekanisme yang ada,” ujar Puan pada wartawan, Kamis (16/12).
Pihaknya juga menjelaskan bahwa DPR tidak ingin asal-asalan dalam memutuskan RUU TPKS ini menjadi undang-undang tanpa melalui mekanisme atau pun prosedur yang berlaku di DPR.
Hal ini jelas berbeda dengan sikap DPR ketika berhadapan dengan RUU inisiatif pemerintah. Meskipun ditolak publik, dan perencanaannya tidak sepenuhnya mematuhi aturan pembuatan perundang-undangan, namun tetap juga dikebut penyelesaiannya dan disahkan.
Baca Juga : Pleno Draf RUU TPKS Ditunda, Campur Tangan Presiden Solusinya?
Sebut saja UU KPK dan UU Cipta Kerja yang akhirnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK beberapa waktu lalu. Pun RUU Ibu Kota Negara ( IKN) yang pada prakteknya juga tiba-tiba mengharuskan DPR mengubah tata tertib tentang jumlah anggota pansus agar bisa diselesaikan sebelum Maret 2022 mendatang.
Diwarnai Aksi Interupsi
Anggota DPR RI Fraksi PKB Luluk Nur Hamidah dalam aksi interupsinya pada rapat paripurna menyampaikan kekecewaannya tentang RUU TPKS yang gagal dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi RUU inisiatif DPR.
Menurutnya sudah banyak masyarakat yang menantikan RUU TPKS ini. Pasalnya kekerasan seksual sudah terjadi di mana-mana. Sehingga harusnya DPR tidak perlu menunda pengesahan RUU ini.
“Begitu banyak yang sudah menunggu dan menilai bahwa DPR gagal dan tidak memiliki sense of crisis adanya darurat kekerasan seksual. Enough is enough, cukup adalah cukup dan saya kira kita semua tidak ingin menjadi bagian yang tidak memiliki sense of crisis tersebut,” tegasnya.
Hal ini juga senada dengan pernyataan Koordinator Juru Bicara DPP Partai Solidaritas Indonesia, Kokok Dirgantoro, kepada wartawan, menanggapi batalnya RUU TPKS.
“Mau menunggu berapa lagi korban frustrasi karena kekerasan seksual? RUU ini adalah pintu masuk menyelamatkan masa depan korban. Ini bukti DPR tidak berpihak pada korban kekerasan seksual,” terangnya pada wartawan, Kamis (16/12).
Kokok menyatakan, gagalnya RUU TPKS masuk paripurna ini sungguh bertolak belakang dengan sikap fraksi yang mayoritas mendukung pembahasan. Menurutnya, hal itu menjadi tanda tidak ditunaikannya janji politisi yang bilang akan berjuang sungguh-sungguh agar proses pembahasan lebih cepat.
“DPR jangan jadi pemberi harapan palsu. Apa yang dijanjikan, lain dengan kenyataan. Ini menjadi bukti ketidakpedulian DPR pada para korban,” katanya.
Sebagai informasi menurut rencana ,RUU TPKS akan dibawa kembali ke rapat paripurna selanjutnya untuk disahkan menjadi inisiatif DPR. Semoga saja.
Baca Juga : RUU PKS, Harapan yang Tiada Kunjung Sampai
1 Komentar