
Readtimes.id – Hujan turun perlahan di Anjungan Pantai Losari. Laut tampak muram, langit menggantung rendah. Namun di atas panggung kecil setinggi tak lebih dari satu jengkal itu, suara gitar mengalun pelan, menyusup di antara suara rintik dan deru angin. Di antara payung-payung terbuka dan tenda-tenda yang menampung puluhan kursi, orang-orang tetap bertahan. Mereka tidak datang hanya untuk menyaksikan pertunjukan. Mereka datang untuk merayakan sebuah harapan: kota yang ramah bagi semua.
Inilah ulang tahun kedua Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin (Pusdis Unhas). Bukan sekadar perayaan, melainkan rangkaian panjang kolaborasi dan kerja bersama yang bertumbuh dari niat sederhana: naik kapal Phinisi bersama relawan. Tapi dari keinginan kecil itu, tumbuh gagasan besar yang dirawat dengan sepenuh hati. Tema “Pariwisata Akses” pun dipilih—sebagai panggilan untuk menjadikan Makassar lebih inklusif, terutama bagi penyandang disabilitas.
“Awalnya sesederhana ingin naik Phinisi,” ujar Ishak Salim, Kepala Pusdis Unhas. “Tapi dari sana tumbuh mimpi lain—bahwa pariwisata seharusnya menjadi ruang di mana semua orang bisa hadir, merasa aman, dihargai.”
Mimpi itu lalu dirajut menjadi gerakan. Kuliah umum, seminar nasional, dan asesmen langsung terhadap aksesibilitas destinasi wisata mulai dilakukan. Bersama relawan dan komunitas disabilitas, Pusdis menyusuri setiap sudut Pantai Losari: dari area parkir, masjid terapung, anjungan Bugis, hingga patung-patung pahlawan. Meski belum rampung seluruhnya, jejak langkah itu cukup untuk menandai komitmen jangka panjang.
“Kami percaya, inklusivitas bukan produk kebijakan satu arah. Ia lahir dari perjumpaan dan kelekatan banyak pihak,” jelas Ishak. Dengan latar sebagai akademisi dan aktivis, ia membawa pendekatan Public Service Logic ke dalam kerja-kerja ini—sebuah keyakinan bahwa nilai publik tidak diciptakan di balik meja kantor, melainkan dalam proses bersama warga.
Kolaborasi pun menjalar. Jurusan Ilmu Pariwisata dan Administrasi Negara Unhas bergabung. Pemerintah Kota Makassar pun membuka pintu, bersama pelaku wisata, asosiasi usaha, dan komunitas difabel. Dari kolaborasi itu lahir rencana-rencana baru: menyusun indikator wisata inklusif, mengembangkan program “Jokka-Jokka Inklusif”—tur kolaboratif yang dirancang bersama.
Namun bukan hanya diskusi dan asesmen yang bicara hari itu. Di tengah hujan, panggung seni justru menjadi jantung dari semua perayaan. Musik, puisi, dan tarian menjadi medium keberanian untuk tampil dan mengklaim ruang.
Grup musik Ruang Baca tampil bersama putra kecil mereka yang baru bangun tidur, menghadirkan lagu-lagu seperti “Di Belantara Kata” dan “Minggu Pagi”. Para relawan tuli menerjemahkan lirik dengan bahasa isyarat—membuat musik tak hanya bisa didengar, tapi juga dilihat dan dirasakan. Di balik hujan dan langit mendung, lagu-lagu itu menjadi cahaya.
Nayla, siswi dengan sindroma Down, menari tarian empat etnis. Basah oleh hujan, namun tetap melangkah dengan penuh kelembutan. Payung dinaikkan oleh ibunya dan seorang mahasiswa tuli. “Dia tetap profesional,” tulis sang ibu di media sosial. “Bukan karena dilatih kemarin sore, tapi karena ditempa bertahun-tahun dengan sabar dan daya juang yang luar biasa.”
Dari atas dek kapal Phinisi Adama, yang membawa lebih dari seratus penumpang menyusuri laut senja, hingga ke panggung kecil di bibir Pantai Losari yang basah oleh hujan, semangat inklusi terasa begitu hidup. Bukan berasal dari gemerlap proyek besar, bukan pula hasil dari slogan kebijakan. Ia tumbuh dari pertemuan yang tulus, dari kepercayaan yang dirawat bersama, dari harapan yang menjelma dalam kerja kolaboratif yang nyata.
Pada akhirnya seremoni HUT Pusdis hanyalah permukaan. Di baliknya, berdenyut percikan perubahan. Mimpi tak lagi mengawang, melainkan menjelma kesadaran yang mengakar: kota ini bisa lebih ramah ketika setiap orang diberi ruang untuk hadir, didengar, dan dihargai—apa pun keadaannya
Editor: Ramdha Mawaddha