Readtimes.id– Praktik pemberian gelar kehormatan sejumlah perguruan tinggi kepada tokoh publik dan politisi tak jarang rawan akan kepentingan politik.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa tokoh yang pernah mendapat gelar ini, di mana justru memiliki rekam jejak bertolak belakang dengan gelar yang didapatkan.
Pemberian gelar doktor honoris causa dari Universitas Negeri Semarang kepada mantan Ketua PSSI, Nurdin Halid, dalam bidang olah raga misalnya. Pemberian ini dianggap kurang tepat karena pada masa kepemimpinannya, sepak bola Tanah Air tak menunjukkan geliat prestasi yang gemilang. Bahkan ia sempat dipenjara karena karena tersandung kasus korupsi.
Selanjutnya adalah penganugerahan gelar terhadap Ketua DPR RI, Puan Maharani, dari Universitas Diponegoro dalam bidang kebudayaan dan kebijakan pembangunan manusia yang juga sempat menggemparkan publik. Sosok Puan dinilai tidak memberikan kontribusi apapun dalam bidang tersebut.
Peraturan yang longgar karena dapat ditafsirkan secara subjektif oleh pihak kampus membuat praktik obral gelar kehormatan mudah dilakukan. Bahkan, tak hanya pihak universitas yang kemudian dengan sengaja menawarkan, melainkan tokoh publik yang ingin membeli pun bisa menawarkan diri.
Pakar psikologi politik Universitas Negeri Makassar, Muhammad Rhesa, memandang bahwa pada dasarnya motif di balik perburuan gelar kehormatan yang dilakukan tokoh publik adalah untuk meraih kepercayaan masyarakat.
“Jadi sebagai tokoh publik terkadang mereka membutuhkan simbol-simbol tertentu untuk dapat dikatakan berkompeten pada suatu bidang yang kemudian pada akhirnya dapat memantik kepercayaan publik, “terang dosen Fakultas Psikologi UNM ini.
Pihaknya menjelaskan, di publik pada dasarnya berlaku apa yang kemudian disebut sebagai kepercaayaan rasional. Untuk mendapatkan hal itu dengan melalui dunia pendidikan, salah satunya penganugerahan gelar kehormatan.
Namun, Rhesa tak menampik motif para tokoh publik yang demikian ini serta didukungnya dengan sejumlah regulasi yang ada justru membuat pengunugerahan gelar kehormatan tidak lagi terhormat melain sangat politis.
Dengan demikian, untuk menghidari hal tersebut, sejatiny perlu transparansi oleh pihak universitas yang kemudian akan memberikan gelar tersebut. Seperti misalnya mempublikasikan berbagai prestasi atau pun capai-capaian yang kemudian menjadi indikator khusus penilian seorang tokoh publik layak diberikan gelar kehormatan.
Mewujudkan itu tentu membutuhkan bantuan seluruh pihak, tak hanya kampus sebagai tempat barometer moral publik dan tempat di mana kejujuran intelektual dijunjung tinggi,
tetapi sebuah regulasi yang lebih ketat dari pemerintah dalam hal ini Kementerian yang terkait serta tokoh publik yang juga harusnya berhenti menggoda melalui sebuah kekuasaan politik yang tengah dimilikinya.
Tambahkan Komentar