Readtimes.id — Penemuan seaglider tak bertuan di kepulauan Selayar Sulawesi Selatan membuka beberapa fakta baru tentang daya kapasitas dan kualitas pertahanan wilayah laut Indonesia.
Pertama adalah fakta bahwa tidak berjalannya sistem deteksi dini benda-benda nirawak yang masuk dalam perairan Indonesia yang berpotensi mencuri data strategis terkait kondisi perairan Indonesia. Hal ini terbukti dengan ditemukannya tiga benda nirawak di tiga titik perairan Indonesia selama dua tahun berturut- turut oleh nelayan lokal dan bukan oleh otoritas keamanan laut.
Bahkan fatalnya dari 3 temuan benda nirawak tersebut otoritas kemanan kita belum mampu mengungkap siapakah pemilik aslinya. Semuanya masih serba menduga-duga. Dan China adalah negara yang tepat untuk dijadikan pihak terduga karena ditemukannya aksara China bertuliskan nama China Shenyang Institute of Automation, Chinese Academy of Sciences pada temuan pertama
Padahal faktanya selain China ada banyak negara di dunia hari ini yang menggunakan teknologi serupa seperti Amerika Serikat,yang bertuliskan nama China Shenyang Institute of Automation, Chinese Academy of Sciences Inggris, Norwegia juga India.
Kedua adalah fakta bahwa Indonesia belum mampu menegaskan diri sebagai negara yang tunduk dengan hukum laut Internasional UNCLOS 1982, dimana memiliki hak dan kedaulatan data maritim yang harus dihormati negara lain.
Ini merupakan dampak lanjutan dari ketidakseriusan Indonesia dalam mengungkap identitas pemilik benda nirawak yang menyusup ke wilayah perairan Indonesia, sehingga tidak mampu menentukan tindak lanjut dari penemuan benda asing tersebut. Minimal dengan melontarkan nota protes ke dunia Internasional, sehingga wajar jika dipandang negara yang gampang untuk disusupi dan ditaklukan oleh negara lain.
Ketiga tidak adanya keseriusan untuk menjadikan isu keamanan laut sebagai isu strategis. Hal ini dapat dilihat bagaimana alokasi anggaran yang masih rendah.Tercatat untuk operasi Bakamla ( Badan Keamana Laut) pemerintah hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp 515 Milyar tahun ini dimana hanya mampu menutupi kebutuhan Bakamla sebesar 8,43 %.
Hal ini tentu sangat berpengaruh dengan kesiapsiagaan operasi Bakamla yang tentunya sangat membutuhkan pengadaan alat utama sistem persenjataan ( alutsista) untuk membantu penegakan hukum di wilayah laut Indonesia.
Terbukti dari data Global Fire Power
Indonesia hanya memiliki 282 aset yang terdiri dari 7 fregat, 24 korvet, 5 kapal selam, 10 penyapu ranjau, 156 kapal. Sementara Thailand memiliki 292 aset yakni 1 kapal induk, 7 fregat, 7 korvet, 5 penyapu ranjau, 238 kapal patroli. Ini tentu tak sebanding dengan luas wilayah perairan yang akan dijaga.
Tapi itulah Indonesia , hanya akan bertindak ketika negara lain mulai menyerang.
Tambahkan Komentar