Readtimes.id — “Sebagai Koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali, dari lubuk hati yang paling dalam saya ingin meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia jika dalam penanganan PPKM Jawa-Bali ini masih belum maksimal”.
Kutipan di atas adalah potongan ucapan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, yang juga Koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali.
Opung, sapaan akrab Luhut, waktu itu sedang pusing memikirkan pengendalian laju penularan Covid-19. Apalagi varian delta yang persebarannya lebih cepat dibandingkan covid varian lainnya.
Tidak cukup sepekan Opung minta maaf, tiba giliran Menteri BUMN Erick Thohir juga melakukan hal serupa. Mantan bos Inter Milan dan juga orang kepercayaannya Pakde Jokowi ini juga minta maaf. Menyusul kemudian ada Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat. Juga Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur.
Menanggapi hal itu, sosiolog Universitas Hasanuddin Ramli AT menilai hal tersebut merupakan sikap yang sudah seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Namun itu belum cukup. Dalam kondisi seperti sekarang, bentuk permintaan maaf yang tepat adalah dengan mengevaluasi kebijakan yang ada.
“Yang paling penting, adalah evaluasi kebijakan yang secara terus-menerus ditingkatkan . Barulah kemudian disusul dengan bagaimana mengkomunikasikan kebijakan tersebut agar dipahami masyarakat,” terangnya kepada readtimes.id.
Ini penting, untuk menggapai kembali kepercayaan masyarakat yang turun. Khususnya pada Jokowi. Khususnya pada orang yang telah dipercaya publik memimpin dua periode itu.
Baca Juga : Krisis Kepercayaan Rakyat di Tengah Pandemi
Di bawah 50 persen, tepatnya 43 persen, adalah persentase jumlah masyarakat yang percaya pada Jokowi di bulan Juni tahun ini . Sementara 22, 6 persennya lagi sudah tidak percaya, mengutip data LSI yang dirilis belum lama ini.
Ini persentase terendah, kata Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif LSI.
Sebelumnya tingkat kepercayaan publik mencapai 56,3 persen, namun terus menurun empat bulan terakhir (Februari -Juni ). Lebih 10 persen turunnya, yakni 13,5 persen. Begitu jauh jika mau dibandingkan dengan data tahun lalu, dimana waktu itu Jokowi masih dipercaya sekitar 60 persen rakyat Indonesia.
Komunikasi Jadi kunci
Bukan rahasia lagi, komunikasi menjadi hal yang paling dikritik dari pemerintahan periode ini, terutama soal kaitannya dengan penanganan pandemi.
Hal ini bahkan terjadi sejak kali pertama Covid-19 masuk ke Indonesia. Di mana saat itu belum ditemukan varian lainnya, masih satu, seperti yang muncul di Wuhan, China akhir 2019 lalu.
Saat itu pemerintah dinilai tidak transparan dalam menyampaikan jumlah data kasus pasien yang terpapar Covid-19. Terjadi perbedaan antara data pusat dan daerah seperti yang kemudian diutarakan oleh peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, dalam wawancaranya pada sebuah media nasional.
Dalam pernyataannya, publik bahkan dinilai tidak tahu persis berapa jumlah masyarakat yang telah terpapar virus dan yang meninggal, hingga akhirnya covid ditetapkan sebagai bencana nasional dan kebijakan PSBB diberlakukan di sejumlah daerah.
Dalam pelaksanaannya, PSBB juga menuai sejumlah kritikan dari publik. Saat hari raya Idul Fitri misalnya, publik dibingungkan dengan pernyataan Jokowi dan Menteri Perhubungan, Budi Karya, yang berbeda soal pelarangan mudik lebaran.
Saat itu Budi Karya melalui Permenhub No 41/2020 soal pengendalian transportasi mudik di tengah wabah virus corona melarang masyarakat untuk melakukan mudik Lebaran. Namun, Jokowi mengizinkan masyarakat untuk pulang kampung. Hasilnya saat itu tidak sedikit masyarakat yang tetap pulang kampung alias mudik. Alhasil jumlah kasus melonjak mencapai 1.241 kasus.
Masih dalam kondisi Lebaran, tepatnya tahun ini, melalui Permenhub Nomor 13 tahun 2021 publik benar-benar dilarang untuk mudik. Sejumlah aparat keamanan bahkan bersiaga di setiap perbatasan siap menghadang masyarakat yang hendak melintasi perbatasan.
Namun, dalam waktu yang sama sejumlah pusat perbelanjaan seperti mal dan tempat wisata yang berpotensi menciptakan kerumunan tetap buka. Hasilnya kasus Covid-19 naik 53, 4 persen dalam waktu tiga pekan.
Begitu pun dalam kasus penerbangan. Saat itu Indonesia kedatangan 500 TKA dari China yang masuk melalui Sulawesi Utara, dengan tujuan membantu perampungan sebuah proyek strategis nasional. Ini kembali diprotes publik pasalnya pada saat yang bersamaan masyarakat dihimbau untuk tidak melakukan perjalanan lintas daerah karena tengah berlangsung pembatasan sosial berkala besar (PSBB).
Tidak berhenti disitu saja keambiguan juga masih berlanjut ketika PSBB berganti nama dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM )yang saat ini telah berganti dengan istilah PPKM level 4.
Sejumlah Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) yang menjadi petunjuk teknis dari pelaksanaan PPKM itu, bahkan dalam pelaksanaanya telah direvisi lebih dari 5 kali dalam kurun waktu dua pekan saja.
Alhasil, implementasi PPKM di lapangan tidak optimal, utamanya terkait penegakan disiplin. Tercatat telah terjadi sejumlah kericuhan dan perdebatan di berbagai daerah saat aparat keamanan berupaya mendisiplinkan kegiatan masyarakat.
Ini tidak dapat terhindarkan karena di saat pandemi seperti sekarang pemerintah belum menerapkan komunikasi krisis seperti yang dijelaskan oleh Guru Besar Komunikasi Universitas Indonesia (UI) Ibnu Hamad dalam acara Polemik MNC Trijaya bertajuk PPKM End Game.
“Ciri komunikasi krisis adalah komunikasi yang melaporkan secara fakta tindakan-tindakan yang sudah dilakukan atas krisis yang terjadi,” terang Ibnu.
Ini penting untuk kemudian meminimalisir terciptanya hoaks atau bahkan kebingungan di tengah krisis dengan berbagai macam jenis aturan.
Untuk mendukung hal ini sejatinya pemerintah juga bisa membentuk sebuah Crisis Center yang dalam tugasnya saat pandemi tidak hanya menyampaikan perkembangan kasus, melainkan juga informasi bantuan mengenai fasilitas kesehatan yang dapat diakses oleh publik seperti ketersediaan tabung oksigen, kamar pasien, obat-obatan dan lain sebagainya yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Ini perlu dilakukan tidak lain juga untuk meyakinkan publik bahwa meski di rumah saja, akses informasi terkait kesehatan maupun kebutuhan lainnya telah tersedia dengan baik.
Lebih dari itu untuk mengoptimalkan kebijakan pemerintah juga bisa menggunakan media sosial untuk menjaring aspirasi publik, mengingat 170 juta dari 274,9 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan pengguna media sosial
Kini sudah waktunya pemerintah tidak lagi menjadikan publik hanya sebatas objek sasaran kebijakan yang terkadang tidak sepenuhnya matang di atas meja dan terburu-buru dikeluarkan karena keadaan. Dan kini sudah saatnya pula publik membantu pemerintah guna menciptakan sebuah kebijakan yang ketat akan pengawasan juga tepat sasaran. Mengingat rasanya telah cukup banyak nyawa yang hilang dan hanya bisa berakhir dalam kenang.
Tambahkan Komentar