Readtimes.id– Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar kembali menggelar Kelas Online Pemilu Kita (Kopi Kita). Pada edisi keenam ini, Kopi Kita membahas pentingnya representasi perempuan di ranah politik.
Adapun sebagai pembicara yakni Komisioner KPU Makassar, Endang Sari dan dosen UIN Alauddin Makassar, Nur Aliyah Zaenal.
Endang Sari sebagai pembicara pertama membahas terkait sejumlah regulasi yang mengatur terkait representasi perempuan di ranah politik.
“Undang-undang partai politik kita misalnya, mengatur terkait keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Hal ini menjadi syarat verifikasi partai politik,” ujarnya.
Selain itu, dia juga menekankan pentingnya kehadiran perempuan di ranah politik, yakni untuk menjamin lahirnya kebijakan-kebijakan yang berpihak terhadap kepentingan dasar perempuan.
“Bagaimana cuti melahirkan, cuti haid, adanya ruang menyusui di tempat-tempat publik, itu adalah sekian dari kebutuhan dasar perempuan yang jika tidak ada perempuan di dalam ruang pengambilan keputusan, itu akan sulit terwujud,” tambah Endang.
Sementara itu sebagai pembicara kedua,
Nur Aliyah Zaenal menyampaikan bahwa pada dasarnya keikutsertaan dalam politik merupakan hak laki-laki dan perempuan, kendati demikian pada faktanya perempuan masih dikesampingkan.
Hal ini yang kemudian membuat sejumlah negara di dunia termasuk Indonesia mengusung konsep affirmative action.
“Affirmative action adalah jawaban dari kondisi sosial yang diskriminatif dari adanya ketidaksetaraan dan marginalisasi di segala bidang kehidupan, akibat struktur patriarki di level publik dan privat,” ujarnya.
Pentingnya Pendidikan bagi Calon dan Pemilih Perempuan
Keterwakilan perempuan di pusat hingga saat ini belum mencapai angka 30 persen. Kondisi ini semakin diperburuk ketika perempuan yang terpilih pun tidak bisa melahirkan sejumlah kebijakan yang berpihak pada perempuan.
Menurut Endang Sari, hal ini tidak lain merupakan dampak dari ketidakseriusan partai politik dalam memberikan pendidikan politik dan menjaring perempuan yang memiliki kompetensi cukup untuk maju.
“Partai politik seharusnya menjamin perempuan yang kemudian diusung adalah perempuan yang paham akan persoalan mendasar perempuan,” tegasnya.
Menurutnya, partai masih pragmatis terhadap perempuan. Calon perempuan masih dipandang sebagai pelengkap administrasi semata.
Selain pendidikan politik untuk calon, yang tidak kalah penting menurut Endang adalah pendidikan politik untuk pemilih perempuan.
“Pemilih perempuan juga harus dibekali pengetahuan agar mereka bisa kritis dalam memilih calon yang dapat menciptakan kebijakan yang berpihak pada mereka,” tambahnya.
Sementara itu Nur Aliyah Zaenal memandang pentingnya ada evaluasi bagi 5 tahun kepemimpinan para perempuan yang masuk dalam ranah politik.
Menurutnya ini dapat menjadi indikator untuk melihat sejauh mana mereka berpihak pada kepentingan perempuan.
Tambahkan Komentar