Oleh : Rahmad M. Arsyad
“Bro, ini tidak adil. Harusnya dalam situasi begini, mereka lebih peduli, bukankah kita sudah banyak berbuat, mengapa mereka tega melakukan ini kepada kita ? Sungguh, air susu dibalas air tuba!”
Begitulah ungkapan yang sering kita dengar dan senantiasa mengisi keseharian hidup yang kita jalani. Gugatan akan rasa ketidakadilan, kurangnya perhatian, harapan bahwa perbuatan baik akan berbalas kebaikan, sampai perasaan kecewa terhadap orang lain senantiasa datang silih berganti dalam hidup ini.
Ungkapan-ungkapan ini selalu saya dapatkan, biasanya seiring dengan hembusan nafas, kata-kata yang keluar dari kerongkongan saya begitu sederhana, “hidup memang begitu kawan”.
Lalu, bagi sebahagian teman yang sering membaca buku filsafat dengan mudah langsung menuduh dan membalas saya, “dasar nihilis”!
Terlepas dari apapun pandangan filsafat saya, bagi saya aneh rasanya jika kita masih mempertanyakan segala hal yang sebenarnya merupakan realitas keseharian dari hidup yang kita jalani. Perasaan diperlakukan tidak adil, tidak mendapatkan perhatian, kebaikan yang tidak berbalas kebaikan, kecewa terhadap sesama manusia. Bukankah, semua hal tersebut merupakan pengalaman keseharian dari kenyataan kehidupan yang senantiasa kita alami?
Lantas mengapa kita tidak pernah belajar untuk mengubah pengalaman itu, menjadi pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi kehidupan? Bukankah sebagai manusia yang dibekali kemampuan berpikir, menalar dan mampu belajar dari pengalaman, kita sudah bisa memahami bahwa hidup memang berisi masalah yang berarti kesenjangan antara harapan dan kenyataan?
Jalani hidup dengan 3 M (Menerima, Menjalani dan Mensyukuri)
Banyak sahabat saya yang sering salah dalam memahami arti dari menerima kehidupan. Seolah- olah menerima peristiwa kehidupan adalah upaya pasif, nihilis yang cenderung menolak perubahan, tidak memiliki tujuan dan menghambat kemajuan.
Padahal, menurut saya, lewat sikap menerima realitas kehidupan yang senantiasa berisi kekecewan, ketidakadilan dan masalah, justru merupakan sebuah sikap yang kesatria, berani dan rasional.
Lewat pengalaman dan pengetahuan kita sudah mengetahui hukum pasti kehidupan, bermula dari lahir, muda, dewasa, menikah, tua dan akhirnya mati, adalah sebuah siklus kehidupan yang pasti terjadi. Bisakah kita menolak kepastian akan siklus kehidupan tersebut ?
Tentu saja tidak, karena hidup memang begitu.
Tidak jauh berbeda dengan perasaan kecewa akan sesama manusia, kesalahan, pengkhianatan, penghinaan, perasaan terabaikan, kehilangan, semuanya merupakan drama yang terbentang dalam abad panjang kehidupan manusia yang telah ditulis dalam buku sejarah dan seluruh kitab suci.
Semua hal tersebut adalah kenyataan yang suka maupun tidak, merupakan hukum kehidupan itu sendiri. Lewat sikap menerima kenyataan dari hukum kehidupan, maka secara tidak langsung kita sadar tentang apa yang kita hadapi dari hidup yang sedang kita jalani dan lakoni.
Kesadaran bahwa hidup memang begitu, kadang coba kita ingkari dan enggan untuk kita percayai. Padahal dengan menerima realitas dari cerita kehidupan itu sendiri, akan membuat setiap diri menjadi pribadi yang kesatria, berani dan rasional dan buka menjadi pribadi penggecut yang selalu bermimpi tentang hidup yang dipenuhi oleh zona nyaman dan kebahagiaan.
Setelah kita mampu menerima realitas hidup yang memang penuh ketidaknyamanan, barulah kita mampu menjalani kehidupan secara sadar dan normal. Kesadaran yang dilanjutkan dengan kemampuan untuk berpikir jernih untuk menghadapi setiap keadaan yang datang setiap waktu, menit dan jam dari hidup yang kita lalui.
Ketika kita mampu menerima realitas kehidupan dengan segala persoalan dan romantika yang silih berganti, maka pada saat itu pula kita sudah mampu menata diri untuk menjalani setiap episode kehidupan yang sedang kita lalui. Menjalani setiap tanjakan persoalan dan lorong gelap kehidupan tidak dengan perasaan cemas dan ketakutan, namun dengan siap siaga dan reaksi tindakan-tindakan yang terukur.
Saya percaya, pada hakikatnya manusia senantiasa takut pada hal-hal yang tidak diketahui. Karena itu jika kita mengetahui bahwa hidup memang dipenuhi akan berbagai persoalan, masalah dan ketidaknyamanan, maka apa yang perlu kita cemaskan lagi dari hidup yang sedang kita jalani saat ini?
Guru saya pernah berpesan kepada saya, “Jangan hidup untuk masa lalu karena sudah berlalu. Tidak perlu cemas akan masa depan karena itu belum terjadi, hiduplah untuk hari ini”. Pesan guru saya itu adalah pesan penting yang memiliki makna, “Jangan hidup dalam romantika kenangan masa lalu yang tidak pernah akan kembali, juga tidak perlu cemas akan masa depan yang kita tidak pernah ketahui, jalani hidup dengan bahagia hari ini”.
Pada akhirnya, refeleksi bahagia yang merupakan buah dari keadaan menerima dan menjalani kehidupan akan mengantarkan kita pada rasa syukur yang berarti mampu berterima kasih atas hidup yang kita lalui. Setiap masalah, persoalan yang datang pergi, akan kita lihat dalam sudut pandang pembelajaran yang membentuk pribadi kita semakin trampil dan berpengalaman dalam berselancar menghadapi gelombang lautan kehidupan tentu dengan kesadaran “Hidup memang begitu kawan”!
Tambahkan Komentar