Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitu kiranya gambaran nasib masyarakat Indonesia dalam menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaannya yang ke- 75 .
Bagaimana tidak di tengah perjuangan melawan pandemi, masyarakat indonesia justru harus diperhadapkan dengan sejumlah kebijakan pemerintah yang semakin menambah beban masyarakat.
Kebijakan kenaikan iuran BPJS misalnya, yang secara resmi kembali diberlakukan ketika Mahkamah Agung pada senin,(10/8) melalui laman resminya menolak untuk diadakannya uji materiil terhadap Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang kenaikan tarif BPJS Kesehatan. Dampaknya per Juli 2020 masyarakat Indonesia harus membayar dua kali lipat iuran BPJS kesehatatan dari tarif yang sebelumnya telah diberlakukan oleh pemerintah.
Kabar buruk berikutnya datang dari dunia pendidikan, dimana sejak adanya Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 yang mengatur tentang kebijakan pembelahara jarak jauh (PJJ) nyatanya sekarang justru menimbulkan masalah baru dikalangan orang tua siswa terutama bagi mereka yang memiliki tingkat perekonomian rendah.
Hal ini bukan tanpa alasan karena para orangtua mulai sekarang tak hanya harus menyisihkan uang untuk makan esok hari melainkan juga kuota agar anaknya tak ketinggalan pelajaran esok hari. Itupun bagi mereka yang sudah memiliki gawai, lain halnya bagi keluarga yang anaknya tidak memiliki gawai seperti di Garut, Jawa Barat yang mengharuskan seorang Ayah rela mencuri gawai majikannya agar anaknya tetap dapat bersekolah.
Tak berhenti di situ kebijakan PJJ yang dikeluarkan oleh menteri pendidikan juga diprotes oleh sejumlah mahasiswa dari beberapa kampus di tanah air seperti UNHAS (Makassar), Univ. PGRI Palembang, UNS (Solo) , Univ.Airlangga ( Surabaya), serta Univ. Mulawarman ( Samarinda) yang menuntut keringanan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Alasan mereka sangat berdasar karena selama pandemi mereka tidak menggunakan fasilitas kampus sehingga tidak adil rasanya jika mereka harus membayar penuh uang kuliah.
Kebijakan yang tidak memerdekakan berikutnya juga datang dari dunia pekerja yang kini tengah ketar-ketir menunggu keputusan dari DPR dan pemerintah terkait kepastian rancangan undang-undang cipta lapangan kerja (RUU Cilaka) yang disinyalir akan segera disahkan dalam waktu dekat -dekat ini dengan alasan demi mempercepat pertumbuhan laju ekonomi yang telah terpuruk di beberapa kuartal.
Rancangan undang – undang yang secara terang -terangan menuai aksi protes hampir di seluruh pelosok nusantara sejak awal perumusannya ini, dinilai oleh berbagai kalangan lebih berpihak pada pengusaha ketimbang para pekerja yang jelas-jelas katanya adalah sasaran utama.
Hal ini pun sontak membuat aliansi masyarakat sipil yang tergabung dalam kelompok peduli lingkungan seperti Konsorsium Pembaruan Agraria ( KPA), LBH Jakarta, dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesian) di Ibu Kota naik pitam dan melayangkan somasi kepada DPR senin ,(10/8) untuk segera menghentikan pembahasan RUU Cilaka dengan mekanisme Omnimbus Law yang dinilai telah cacat secara prosedural sejak awal.
Melihat beragam kebijakan pemerintah yang justru menuai catatan merah dari masyarakat di atas, sejenak mengajak kita untuk merenungkan kembali apa yang pernah dikatakan oleh Soekarno di awal berdirinya republik ini tempo hari, bahwa perjuangannya dulu lebih mudah karena melawan penjajah dari bangsa lain , berbeda dengan kita yang akan jauh lebih sulit karena harus berjuang melawan bangsa sendiri, bahkan di tengah pandemi.