Judul : Iblis Tanah Suci
Penulis : Arianto Adipurwanto
Penerbit : Diva Press
Tahun : Januari 2024
Tebal : 140 halaman
“Iblis Tanah Suci” adalah kumpulan cerpen yang akan menyeret kita ke dunia ‘gelap’, masih hijau, dan nyaris tak tersentuh modernitas. Manusia-manusia di dalam tujuh belas cerita di buku ini nampak masih berhadapan dengan masalah alam yang barangkali rumit, namun bisa dicarikan jawaban dan solusinya melalui mimpi, ramalan dukun, benda yang dianggap keramat, dan sederet hal-hal yang kita—orang modern ini—sebut sebagai takhayul dan gaib.
Buku kumpulan cerpen yang ditulis oleh Arianto Adipurwanto ini sekilas seperti serakan kisah-kisah yang terpisah. Namun, secara substansi cerita-cerita di dalam buku ini nyaris saja menjadi serupa novel. Itu bisa kita perhatikan dengan latar tempat cerita yang sama dalam sebagian besar cerita. Desa Lelenggo, Sungai Keditan, dan tempat lainnya akan kita temui dalam banyak cerita. Pembaca yang suntuk akan dengan cepat menjahit bagian-bagian itu menjadi satu-kesatuan yang utuh.
Jadi, bagi sebagian pembaca, barangkali akan merasa bahwa buku relatif tipis—140 halaman—ini semacam memoar penulisnya sendiri tentang lingkungan tempat dia tumbuh di suatu masa yang jauh. Jika demikian adanya, maka cerita-cerita di dalam “Iblis Tanah Suci” ini absah disebut sebagai dokumentasi ingatan pengarang terhadap sejarah kehidupannya sendiri.
Perihal takhayul dan yang gaib akan dengan mudah kita identifikasi melalui judul-judulnya. Coba saja perhatikan “Sudargana Ingin Belajar Terbang”, “Kematian-kematian Koroq Kentang”, “Burung-Burung Mati”, “Menjelang Sang Nabi Lenyap ke Langit”, “Pencuri Batu Nisan”. Dan itu bukan hanya sekadar judul, ceritanya pun berkisah tentang orang-orang percaya pada firasat dari mimpi, kesaktian dukun dan ilmu hitam, kesakralan batu nisan yang bisa membawa keberuntungan, dan sebagainya.
Secara alur, “Iblis Tanah Suci” ini jug membentuk pola yang menarik. Entah disadari atau memang dimaksudkan oleh penyuntingnya, tema-tema yang menjulur dari cerpen pertama—“Bapakku Sambil Mengacungkan Parang”—hingga cerpen terakhir—“Tengkorak”—seperti menceritakan kisah perubahan lingkungan dan masyarakat si penulisnya sendiri. Sekitar 75 persen cerita-cerita awal buku ini benar-benar hanya berkisah tentang manusia berhadapan dengan alam fisik yang dihidupi sehari-hari para tokohnya, kapasitas berpikir para tokoh yang berayun-ayun di antara yang takhayul dan nyata, dan konflik rumah tangga dan sosial yang tidak jauh-jauh dipicu oleh urusan dapur atau ekonomi sederhana, serta ketidakcocokan yang melahirkan dendam.
Namun, setidaknya memasuki lima cerpen terakhir aroma modernitas mulai menyentuh para tokoh-tokohnya. Coba baca cerpennya “Harga Sepotong Kaki”. Narasi pembukanya menghamparkan secara tidak langsung bagaimana sistem ekonomi-politik berdampak pada tokoh cerita:
“Setelah kakinya putus dan ia menerima uang asuransi yang tak seberapa, yang juga tetap disunat sana-sini, Sartep membeli televisi.” (hlm 100).
Ini untuk pertama kali fitur modernitas yakni ‘televisi’ terlibat dalam cerita, lengkap dengan nuansa dampak ekonomi-politiknya terhadap para tokoh. Ekonomi uang yang di dalam cerita-cerita sebelumnya tidak begitu dominan mulai mengambil bagian sebagai aspek penting dalam isi cerita. “Harga Sepotong Kaki” berkisah tentang seorang laki-laki yang kakinya harus diamputasi setelah mengalami kecelakaan kerja di Malaysia. Cerita lantas bergulir jauh dan liar kepada tokoh laki-laki lain bernama Hengky Kurniawan yang, untuk pertama kali pula, membawa fitur modernitas lainnya berupa mobil truk.
Setelah “Harga Sepotong Kaki”, empat cerita lainnya juga mulai kental dengan aroma fitur modernitas maupun kondisi politik yang relatif muda dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. “Nenekku Bukan yang Tertua” adalah cerita yang mengharu-biru, tentang seorang perempuan yang sepanjang usianya terus menunggu kakak laki-lakinya yang tidak pulang karena tersangkut kasus peristiwa 1965. “Gara-gara namanya ada di situ dia dikira ikut Pe-ka-I,” kata nenek.
Cerita-cerita di dalam “Iblis Tanah Suci” pernah diterbitkan sebelumnya oleh media besar dan kecil, online maupun cetak. Cerpen pertama,”Bapak Memandangku Sambil Mengacungkan Parang” dimuat oleh majalah Tempo versi cetak.
Arianto Adipurwanto sendiri adalah penulis muda asal Nusa Tenggara Barat, tepatnya dari Kabupaten Lombok Utara—kabupaten termuda—di pulau Lombok. Tahun 2018 dia menerbitkan Kumpulan cerpennya, “Bugiali”, yang masuk nominasi dalam penghargaan sastra, Kusalah Sastra Indonesia yang sudah almarhum itu.
Di dalam “Iblis Tanah Suci” nampaknya penulisnya mulai memperluas temanya di bandingkan “Bugiali” yang nyaris tak menyentuh persoalan modernitas dan dunia ekonomi politik. Nampaknya pula ada hal yang menjanjikan untuk proses kepenulisannya di masa datang. Semoga.
21 Komentar