Judul : Kembara dari Paris ke Jawa
Penulis : Honore de Balzac
Penerbit : moooi
Tahun : 2021
Tebal : 153 halaman
Ini tentang masa di mana dunia masih serupa kotak-kotak yang saling terisolasi. Satu ruang masih relatif tertutup bagi pintu ke ruang lainnya. Dunia barat terpisah dengan dunia timur bukan hanya secara geografis namun juga secara interaksi sosial. Mereka punya peradaban sendiri-sendiri, dan punya imajinasi berbeda tentang diri di luar batas peradaban mereka.
Abad 16 bisa dikatakan saat di mana isolasi itu lamat-lamat membuka, dalam konteks dunia Eropa dan dunia Hindia atau juga nusantara. Orang Eropa, dengan didorong oleh rasa ingin tahu besar mereka akan dunia timur, mulai melancarkan serangkaian pelayaran-petualangan (sebab itulah kenapa abad 16 dikatakan abad penjelajahan Eropa) ke dunia timur. Sebagian dari para petualang tersebut ingin membuktikan imajinasi eksotik mereka akan dunia timur.
“Kembara dari Paris ke Jawa“ adalah satu contoh bukti imajinasi eksotik tersebut. Kisah perjalanan imajiner ini ditulis oleh pengarang dan sastrawan legendaris dan sohor Prancis, Honore de Balzac. Memang buku ini ditulis pada paruh pertama abad 19, yakni September 1832. Ini sekaligus membuktikan kekaguman dan rasa penasaran orang Eropa terhadap dunia timur masih terus berlangsung sejak dimulai abad penjelajahan pada abad 16.
Karangan “Kembara dari Paris ke Jawa” ini tipis belaka. Versi terbitan bahasa Indonesia yang diterbitkan moooi ini berjumlah 153 halaman saja. Namun, kita akan mampu dibawa masuk ke relung terdalam imajinasi penulis melalui deskripsinya yang begitu mempesona dan detail. Meski, diakui oleh banyak pembaca buku ini, buku ini atau imajinasi si penulis dipenuhi oleh kesalahan menduga dan ketidakakuratan dalam menggambarkan tanah hindia dengan segala isinya.
Namun, terlepas dari itu semua, buku ini menawarkan sesuatu yang tak bisa kita sepelekan signifikansinya: cara pandang Eropa terhadap kita dari dunia timur yang nyaris menjadi dongeng sepenuhnya. Sebuah cara pandang yang lantas menjadi sistem berpikir orang Eropa yang kerap disebut Orientalisme.
Kata “Jawa” dalam judul buku, jika kita analisis secara kritis, sebetulnya ingin pula mencakup tanah hindia secara keseluruhan. Namun, karena pusat pemerintahan kolonial Eropa adanya di pulau Jawa, sehingga Jawa yang menjadi ikon. Ya memang, ada deskripsi-deskripsi yang begitu sensual mengenai perempuan-perempuan Jawa di dalamnya.
Cakupan buku ini sebetulnya sangat sederhana: bagaimana Eropa melihat timur dengan segala isi dan masalahnya. Dikemas dalam gaya penulisan catatan perjalanan sastrawi, buku ini bertumpu pada kecermatan ala observasi. Sebab itulah, pertama-tama yang kemungkinan banyak pembaca rasakan adalah narasi deskripsi atau penggambaran suasana atau tempat yang begitu kuat: liar, sensual, eksotik, sekaligus informatif.
Belum pula prasangka-prasangka penulis terhadap orang-orang timur sangat penting untuk ditekankan. Misalkan begini, “Di negeri yang menakjubkan ini, yang nampak selalu menghijau beraneka rupa, di mana kau bisa bersua dengan orang berbagai bangsa, pesta-pesta tanpa henti yang membuat kenikmatan bisa berlipat ganda dengan sendirinya, di mana kebebasan yang paling luas merajalela…Itulah mengapa negeri Timur punya teramat sedikit penulis. Orang di sana terlalu bahagia dengan kehidupan sendiri hingga tak perlu memikirkan hidup orang lain…” (halaman 54).
Atau coba perhatikan bagaimana si penulis mengimajinasikan perempuan pribumi yang jelas keliru, “… Di sana, perempuan mempunyai kulit putih dan mulus seperti sabun mandi; tak ada gelap dalam raut wajah, bibirnya terlihat jelas; telinganya, lubang hidungnya, semua tampak langsat; hanya bola mata hitam legam disertai kelopak coklat yang terlihat berbeda di dalam lingkaran wajah merona cerah istimewa. (halaman 22).
Deskripsi semacam itu menghambur lapang dalam keseluruhan buku. Berbagai catatan lain seperti dunia flora dan fauna diudar bak catatan detail naturologis dengan gaya puitik. Ya, rasa-rasanya, nuansa puitik ini susah sekali untuk kita abaikan dari buku ini. Kita mungkin akan lupa terhadap isinya, namun tidak nuansa mempesona narasinya yang begitu indah. Apalagi diterjemahkan langsung dari bahasa Prancisnya, “Voyage de Paris a Java”.
Bagi mereka yang ingin tenggelam dalam narasi sastrawi karya non-fiksi, “Kembara dari Paris ke Jawa” ini adalah pilihan tepat. Bagi pecinta sejarah yang ingin memahami bagaimana cara pandang Eropa terhadap diri kita yang paling keseharian, buku ini bisa jadi rekomendasi menarik.
Karena kita perlu tahu bagaimana dunia dulunya, sebelum disesaki oleh informasi yang mendesak-desak di laman maya layar gawai kita.
Tambahkan Komentar