Readtimes.id—Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) siap mengawal upaya transisi penggunaan bahan bakar nol karbon di berbagai kegiatan pelayaran dan memastikan kesiapan pelabuhan-pelabuhan strategis pelayaran dan memastikan kesiapan pelabuhan-pelabuhan strategis Indonesia untuk bertransisi menjadi green port.
Hal itu disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Basilio Dias Araujo dalam sesi temu wicara IMO-UNCTAD Side Event at Cop26: Seizing Opportunities for Developing Countries in Providing Zero-Carbon Fuels to Global Shipping, Rabu (10/11).
“Perusahaan minyak nasional kami mulai memproduksi Low Sulphur Marine Fuel Oil (LS MFO/bahan bakar kapal sulfur rendah) untuk bahan bakar armada nasional kami. Kami bahkan mulai menyediakan LS MFO untuk pelayaran internasional dengan peluncuran di salah satu pelabuhan kargo curah di Krakatau Internasional Port (KIP) pada Agustus 2021,” kata Basilio seperti dikutip dari keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Basilio juga menuturkan Pertamina sedang mempersiapkan empat terminal LS MFO di Selat Malaka untuk melayani armada laut internasional.
“Kami berharap dapat memiliki mitra internasional untuk bekerja sama dengan kami untuk membangun lebih banyak kilang guna menyediakan LS MFO untuk pelayaran global di Selat strategis kami. Di tingkat nasional, Indonesia juga kini memperkenalkan B20 dan B30 untuk transportasi darat dan udara,” jelasnya.
Indonesia telah memperbarui Nationally Determined Contributions (NDC) pada Juli 2021 sebagai komitmen untuk mengurangi emisi karbon.
Terkait isu dekarbonisasi pelayaran, NDC Indonesia mencatat kontribusi 19 persen emisi CO2 berasal dari pelayaran di Indonesia.
Indonesia memiliki 39.510 kapal kargo dan 171.754 kapal penangkap ikan yang terdaftar di database nasional. Sebagian besar kapal kargo Indonesia dan kapal penangkap ikan berukuran kecil.
Namun, angka armada Indonesia terlalu kecil jika dibandingkan dengan 2,1 miliar DWT armada dunia yang tercatat dalam UNTACD Handbook of Statistics tahun 2020.
“Sekitar 200.000 armada dunia ini berlayar di antara tiga selat strategis Indonesia yaitu Selat Malaka (130.000/tahun), Selat Sunda (56.000/tahun) dan Selat Lombok (33.000/tahun). Ini menghasilkan juta ton CO2 yang dikeluarkan oleh armada-armada tersebut saat melewati perairan Indonesia,” kata Basilio.
Terlepas dari kontribusi jutaan ton atau bahkan giga ton emisi karbon dari kapal yang melintasi perairan Indonesia, Basilio menegaskan Indonesia sebagai negara pesisir dan negara terbesar di dunia tetap melakukan tugasnya untuk berupaya menekan emisi karbon yang dihasilkan.
Pemerintah Indonesia juga akan mengubah penggunaan BBM menjadi BBG untuk kapal-kapal kecil.
Program tersebut untuk nelayan dengan kapal penangkap ikan 7.812 metrik ton. Pemerintah juga sekarang memperkenalkan tenaga surya atap untuk dipasang di semua pelabuhan guna menyediakan energi hijau di pelabuhan.
Dengan semua upaya yang dilakukan, Basilio yakin Indonesia mampu mewujudkan komitmennya. Kendati demikian, perlu kerja sama kolektif dan kolaborasi dari semua pemangku kepentingan di sektor maritim dan energi di dalam negeri, maupun organisasi internasional seperti IMO, UNCTAD, dan Bank Dunia.
“Saya harap IMO dapat membantu upaya kita promosikan teknologi rendah karbon. IMO bisa berikan fasilitasi kemitraan publik-swasta dan pertukaran informasi, transfer teknologi, pembangunan kapasitas SDM maritim, kerjasama teknis, dan berbagai program untuk tingkatkan efisiensi energi di kapal dan kegiatan pelayaran,” imbuhnya.
Basilio juga berharap IMO bisa memberikan bantuan pendanaan dan teknologi inovasi termasuk pengembangan kapasitas.
“Tinggal kita (Indonesia) pintar manfaatkan dan maksimalkan berbagai peluang dan fasilitas dari para pihak ini,” pungkas Basilio.
Sumber: ANTARA
Tambahkan Komentar