“Saya mengusung ide kolaborasi, model hexa helix bisa menjadi salah satu instrumen bagi pengembangan Universitas di mana kampus akan menjadi inspirasi peradaban yang mampu menjawab persoalan yang terjadi secara real di tengah masyarakat” – Prof. Dr. Indriaty Sudirman, M.Si-
Saya mengenal sosok Indriaty Sudirman belum lama, tapi dari perbincangan singkat dengan perempuan kelahiran 28 Januari 1969 membuat saya tertegun, inikah sosok perempuan layaknya Sri Mulyani baru dari timur Indonesia yang lahir dari rahim almamater kebanggaan saya, kampus merah Universitas Hasanuddin.
Kesan yang saya tangkap dari sosok Indriaty merupakan sosok perempuan humble, cerdas, komunikatif, pekerja keras dan kaya akan pengalaman empiris, sesuatu yang membuat sosok Prof. Dr. Indriaty Sudirman, M.Si, memiliki keunikan dibandingkan kesan umum tentang para guru besar selama ini.
Namun, hal yang menjadi pembeda utama dari sosok Indriaty Sudirman dari apa yang saya amati yakni kemampuan mengenali konteks zaman. Tema perbincangan seperti ‘kolaborasi’ yang sering diungkapkan oleh Indriaty Sudirman adalah penanda sekaligus ‘tema sentral’ dari kultur generasi baru Indonesia bahkan dunia saat ini.
Berbeda dengan generasi zaman sebelumnya, ketika ‘kompetisi’ dan ‘kontestasi’ adalah doktrin yang selalu didengungkan bahkan sejak awal seorang mahasiswa baru masuk ke universitas. Tengoklah, masih banyak para dosen, ketika mengisi orientasi mahasiswa baru, akan berujar, Anda adalah orang-orang terpilih karena berhasil menyingkirkan ribuan pesaing lain pada saat test masuk universitas negeri”!
Tentu narasi menyingkirkan ribuan orang untuk mendapatkan satu kursi di bangku kuliah adalah narasi yang sangat dekat dengan semangat kompetisi personal, kontentastasi yang berlatar semangat individualistik bahwa hidup adalah usaha menyingkirkan orang lain agar bisa mendapatkan kesempatan.
Padahal, bagi Generasi Z yang begitu dekat dan tumbuh bersama peradaban virtual yang kini telah menjejakkan kaki dan mulai berdatangan di kampus-kampus kita, kolaborasi merupakan sebuah hal yang menjadi kultur keseharian mereka dan bukan kompetisi yang begitu dekat dengan nilai-nilai individualistik yang membentuk generasi sebelumnya.
Cara mengenali bagaimana kultur kolaborasi yang menjadi ciri mayoritas Generasi Z saat ini cukup sederhana, lihatlah game online yang kini berkembang dan dimainkan oleh mayoritas generasi baru anak kandung peradaban virtual itu, hampir seluruhnya dimainkan dalam strategi kolaborasi dalam wujud team kerja, bukan kerja kemenangan perorangan.
Karena itu, ketika sosok Indriaty Sudirman berbicara kepada saya tentang ‘kolaborasi’ bagi saya tentu adalah hal yang unik sekaligus mengesankan. Karena, kampus sebagai tempat bertumbuh kembangnya peradaban, mestinya dapat menjadi kawah candradimuka bagi inspirasi peradaban itu sendiri.
Untuk bisa menjadi sumber inspirasi peradaban, hal utama yang dibutuhkan tentu saja pengetahuan akan penanda peradaban. Kini pada zaman baru dengan kultur peradaban virtual yang berkembang, ketika ilmu pengetahuan tidak lagi berlangsung secara privat dan hanya bisa dinikmati oleh sekelompok orang, maka kampus mestinya berani membuka diri dan mengubah diktat-diktat kaku masa lalu, menjadi diktat masa depan.
Kemarin, ketika membaca sejumlah media, saya melihat Indriaty Sudirman akhirnya mendaftarkan diri menjadi calon rektor Universitas Hasanuddin, tentu ada harapan yang bersinar di hati saya sebagai seorang alumni Unhas, bahwa Indriaty Sudirman akan tampil menjadi Rektor Unhas mendatang.
Harapan agar Indriaty Sudirman mampu menjadi penghubung generasi, penyambung antara semangat zaman generasi baru dan pengetahuan. Namun yang terpenting menghadirkan kampus yang bisa berkolaborasi dengan seluruh elemen layaknya semangat hexa helix yang selama ini dibicarakannya.
Apalagi, Indriaty Sudirman selama ini punya banyak pengalaman praktis dari menjadi Sekretaris Eksekutif Majelis Wali Amanat Universitas Hasanuddin sampai menjadi Sekretaris Jenderal Forum Majelis Wali Amanat Se-Indonesia. Begitu juga, pengalaman sebagai pemimpin Project Implementation Unit (PIU) Rumah Sakit Universitas Hasanuddin pada waktu yang lalu.
Pengetahuan dan paduan pengalaman serta kemampuan membaca penanda zaman yang dimiliki oleh sosok Indriaty Sudirman saya yakini, adalah modal besar untuk mendorong Unhas menjadi inspirasi peradaban di tengah-tengah masyarakat. Semoga.
oleh ; Rahmad M. Arsyad (Alumni Unhas)
1 Komentar