Readtimes.id– Sejak 2019 lalu, wacana Jokowi presiden tiga periode nampaknya tidak pernah kehilangan momentum untuk selalu muncul kembali. Bahkan ketika pilpres masih akan digelar tiga tahun lagi.
Seolah tak ingin dianggap sebagai gimik semata, para penggagas wacana ini bahkan mendirikan sebuah sekretariat nasional bertempat di Ibu Kota. Sekretariat yang diinisiasi oleh Timothy Ivan dan eks kader PAN Baron Danardono Wibowo yang bertindak sebagai Ketum, serta M Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer (IB) sebagai penasihat, seperti yang diketahui baru saja diresmikan pada 19 Juni lalu.
Ketiganya bahkan tak hanya mendorong Jokowi maju, melainkan Prabowo sebagai pendampingnya. ‘Jok-Pro 2024 ‘ adalah kampanye yang kemudian digunakan komunitas yang disinyalir akan mengumpulkan seluruh relawan Jokowi dan Prabowo dari berbagai daerah di Tanah Air.
Kemunculannya di tengah pembahasan figur-figur yang memiliki potensi besar untuk maju di Pilpres 2024 tentu bukan lah sesuatu yang mustinya mengejutkan publik. Seperti halnya relawan Jokowi-Prabowo, beberapa relawan dari figur lain juga mulai unjuk gigi dalam waktu bersamaan. Seperti Ganjaris untuk Ganjar Pranowo di Jawa Tengah atau Gema Perjuangan Maharani Nusantara atau GPMN, untuk mereka yang mendukung Puan Maharani agar melenggang bebas di atas karpet merah RI satu.
Namun, hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah gagasan untuk mendorong Jokowi kembali mencalonkan diri pada 2024 bertentangan dengan konstitusi. Seperti yang diterangkan Pakar hukum tata negara Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar kepada readtimes.id
Menurutnya, Presiden tiga periode tidak mungkin terjadi, karena seperti yang diamanatkan UUD 1945 pasal 7, jabatan Presiden dibatasi hanya sampai dua periode. Pun jika ingin tiga periode, tentu harus dilakukan amandemen atau perubahan terlebih dahulu untuk pasal tersebut. Namun, untuk sampai pada tahap itu ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan.
“Perlu dipahami bahwa merubah konstitusi itu tidak sama dengan mengubah undang-undang biasa, dan itu hanya akan dilakukan jika ada kepentingan di mana sistem ketatanegaraan kita tidak lagi sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman,” terangnya.
Melakukan amandemen UUD 1945 atas dasar kepentingan politik pihak tertentu, tak ubahnya hanyalah membuka kotak pandora. Karena tidak menutup kemungkinan tak hanya akan merubah satu pasal saja, melainkan sejumlah pasal yang dinilai tumpang tindih di dalamnya yang pada dasarnya dapat berpotensi mengganggu kestabilan sistem ketatanegaraan.
Seperti diketahui, reformasi sistem ketatanegaraan Indonesia pada dasarnya berangkat dari sejarah kelam bangsa yang pernah berada pada kekuasaan yang terus mempertahankan dirinya dalam jangka waktu panjang, otoriter dan cenderung korup.
“Mereka yang menggagas Presiden tiga periode pada dasarnya adalah orang-orang yang mengingkari dan tidak paham bagaimana aspek kepentingan dalam sejarah reformasi ketatanegaraan kita dan mengapa kemudian masa jabatan Presiden dibatasi hanya sampai pada dua periode saja,” tambahnya.
Senada dengan Aminuddin Ilmar, anggota komisi II DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera memandang bahwa gagasan Presiden tiga periode pada dasarnya membuat sirkulasi kekuasaan tak berjalan sebagaimana mestinya.
“Kekuasaan cenderung menyimpang. Kita lihat bagaimana kelamaan di demokrasi terpimpin, kelamaan di rezim asas tunggal membuat rakyat sangat menderita. Jangan ulangi tirani kembali,” ucapnya dalam rekaman video yang yang diposting di akun Twitter @MardaniAliSera, Sabtu (19/6).
Nampak seperti banyolan di tengah kemungkinan peta politik partai yang masih dapat berubah sewaktu-waktu, gagasan Presiden tiga periode juga seolah memandang bahwa Pilpres hanyalah tentang Jokowi dan Prabowo saja. Pilpres hanyalah sebatas bagaimana cara mendamaikan si cebong dan si kampret yang selalu bersilang pendapat di ruang-ruang maya. Bukan tentang demokrasi yang bisa saja dapat menemui ajalnya, ketika pesta demokrasi mulai dipandang sebagai sebuah formalitas belaka.
Baca Juga : Saatnya Akhiri Isu Tiga Periode
1 Komentar