
Pak RT : Rahmad M. Arsyad
Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat, begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebebasan berpendapat tanpa demokrasi!
Dalil tersebut, layak kembali direnungkan oleh para penyelenggara negara. Jika masih meyakini dan ingin Indonesia menjadi negara yang menganut sistem demokrasi. Bukan sistem sentralistik apalagi oligarki. Kritik sejumlah kalangan terkait berbagai regulasi, kinerja pemerintah, harusnya disambut sebagai sebuah masukan bukan sebagai suara permusuhan apalagi harus dihukum sebagai penyebar kebencian.
Presiden sendiri sudah menyampaikan akan menerima setiap kritik dan meminta masyarakat rajin memberikan kritik kepada kinerja pemerintah. Termasuk mendorong agar dilakukan revisi atas Undang-Undang ITE dan meminta aparat kepolisian menyusun pedoman interpretasi bagi Undang-Undang ITE.
Tapi bagaimana menjelaskan berbagai kasus penangkapan sejumlah aktivis yang melakukan kritik di media sosial atas revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019 yang lalu? Pembungkaman bagi kritik Omnibus Law Cipta Kerja dan berbagai kasus lain yang menyeret sejumlah aktivis yang punya suara berbeda?
Tidak heran, jika rilis The Economist Intelligence Unit (EIU) menyampaikan pencapaian indeks demokrasi masih berada di posisi 64 dunia dengan skor 6.3 yang menurun dari tahun sebelumnya 6.48. Skor pencapaian Indonesia tersebut, merupakan angka yang terendah sejak 14 tahun terakhir bagi Indonesia.
Bukan hanya ancaman hukuman atas pelanggaran undang-undang ITE yang sebenarnya menghambat suara kebebasan dan pandangan kritis warga negara. Tantangan lain yang juga banyak dikeluhkan oleh para akademisi, aktivis untuk menyampaikan pendapat juga adalah serangan para buzzer yang senang melakukan bullying bagi mereka yang punya sikap berbeda dengan pemerintah.
Politik pelabelan yang dilakukan oleh para ‘buzzer pro pemerintah’ yang terus bermain di media sosial juga adalah momok yang membungkam banyak suara kebebasan individu warga negara yang punya pandangan berbeda dengan kebijakan pemerintah. Dengan mudah, para buzzer akan menyampaikan bahwa mereka yang punya suara berbeda adalah bagian dari oposisi parpol di luar pemerintah, pendukung kadal gurun (kadrun), pro khilafah dan berbagai tuduhan lain.
Tidak hanya sampai disitu, jika kita mengajukan pertanyaan lanjutan apakah kritik, masukan dan pandangan yang disampaikan oleh publik akan didengarkan oleh pemerintah? Rasa-rasanya berbagai demontrasi baik yang dilakukan secara langsung maupun kritik lewat media sosial terkait sejumlah regulasi, kebijakan pemerintah tidak pernah ditanggapi secara serius oleh rezim kekuasaan baik di eksekutif maupun koalisi pemerintahan di legislative.
Lihat saja berbagai kritik yang dilakukan oleh berbagai kelompok kekuatan sipil, seperti revisi Undang-Undang KPK, Omnibus Law, kebijakan penanganan Covid, sampai dorongan akan Revisi RUU pemilu serentak. Semuanya hanya akan menjadi angin lalu, dilupakan dan bisa jadi tidak perlu didengarkan. Cukup diancam undang-undang ITE dan dihadapi para buzzer pro pemerintah.
Lantas dimana kebebasan berpendapat dan demokrasi kita?
24,389 Komentar