RT - readtimes.id

Kejepangan, Kucing-Kucing, dan Drama Lelaki-Lelaki Kesepian

Judul : Kakek dalam Kucing-Kucing Takamoto
Penulis : Bagus Dwi Hananto
Penerbit : Indonesia TERA
Tahun : September 2023
Tebal : vi+154 halaman

Latar geografis dan sosial Jepang, kucing-kucing, dan lelaki-lelaki yang kesepian adalah tiga hal yang kuat menggantung di dalam buku kumpulan cerpen “Kakek dalam Kucing-Kucing Takamoto”. Padahal penulisnya, Bagus Dwi Hananto , adalah orang Indonesia asli. Tapi berbekal persentuhannya dengan kebudayaan Jepang dan aktivitasnya menerjemahkan karya-karya Jepang membuat cerpen-cerpennya yang seluruhnya berlatar Jepang ini terkesan alami.

Penulisnya mengulik begitu banyak aspek kehidupan masyarakat Jepang, mulai dari tradisi, dongeng lolak, hingga kehidupan moderennya. Kisah-kisah yang ditulisnya merentang dari masyarakat tradisional di pegunungan hingga masyarakat urban di perkotaan, atau persilangan di antara keduanya.

Narasinya lembut. Deskripsi alam sangat terasa. Jepang yang memiliki empat musim itu digambarkan dengan detail. Ada cerita yang berlatar pegunungan dan urban. Fitur-fitur alam khas Jepang disebar di sepanjang cerita. Sepertinya semua nama-nama atau istilah-istilah kebudayan jepang dijelaskan dalam catatan kaki, sehingga memberikan informasi yang barangkali baru bagi yang belum mengenal Jepang lebih jauh.

Realisme yang disajikan dalam semua kisah bernuansa macam-macam. Ada cerita yang mengingatkan kita pada karya-karya sastrawan Jepang era Yasunari Kawabata yang kuat menggambarkan alam, ada yang cukup absurd yang barangkali akan mengingatkan kita pada karya-karya Haruki Murakami.

Sudut pandang penceritaan juga tidak tunggal. Ada yang berkisah dari sudut pandang orang pertama, orang ketiga, atau menggabungkan dua itu dalam satu cerita. Misalnya, cerita yang menggabungkan dua sudut pandang adalah “Kucing dan Jamur di Cangkir”. Dan uniknya, ada sudut pandang orang pertama yang mengambil ‘suara’ sebatang pohon dalam cerpen “Elegi Shidaresazuka” dan “Kucing dan Jamur di Cangkir” yang baru saja disebutkan.

“Elegi Shidaresazuka” berkisah tentang sebatang pohon yang pada suatu masa bersedih karena ditinggal oleh pemiliknya yang disebutnya Tuan Muda. Meski kisah ini berakhir bahagia dengan kembalinya si Tuan Muda dengan keluarga barunya, tetap saja narasi penantian si pohon akan membuat kita terenyuh. Coba simak narasi lembut pembuka cerpen ini:
“Musim semi, waktu untukku berbunga dan orang-orang akan mengagumi diriku. Rumah yang kutinggali selama bertahun-tahun ini sudah banyak menyimpan kenangan akan kebersamaan para penghuninya. Aku telah lama menyerap ucapan, segala kelakuan manusia yang datang silih berganti bersamaan dengan usia mereka. Beberapa orang meninggal, dan bayi-bayi lahir untuk menggantikan si mati.”(hlm 9)

Sementara untuk cerpen “Kucing dan Jamur di Cangkir” berkisah tentang seorang laki-laki penulis yang nyaris putus asa setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Ia lantas bertemu dengan seekor kucing hitam yang membawa keceriaan dalam hidupnya. Ketika membicarakan si lelaki, yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga. Namun, si kucing diberikan keleluasaan untuk membawa suaranya sendiri alias sudut pandang orang pertama.

“Setiap kali majikanku tidur, menggelar kasurnya di depan benda bercahaya yang kadang mati itu, aku selalu mendekatkan wajahku ke wajahnya, merangkak ke tubuhnya yang tertidur itu dan membisikkan doa untuk hidupnya agar semoga selalu sehat dan bahagia.” (hlm 59).

Masalah-masalah yang dihadapi oleh tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen di buku ini berhadapan dengan skandal pembunuhan, rahasia, rasa bersalah, kehilangan, kerinduan, keputusasaan, bunuh diri, dan harapan. “Malam-Malam Dazai” berkisah tentang seorang lelaki yang dirundung rasa bersalah setelah gagal bunuh diri bersama seorang perempuan saat mudanya—perempuan itu sendiri mati, dan ia selamat. Dan sejak itu laki-laki itu selalu berusaha bunuh diri namun selalu pula gagal.

Tentang kucing-kucing. Dari 11 cerpen di dalam “Kakek dalam Kucing-Kucing Takamoto”, ada 5 cerpen yang memasukkan kucing di dalam judulnya: “Seekor Kucing dalam Rashomon”, “Kucing dan Jamur di Cangkir”, “Kakek dalam Kucing-Kucing Takamoto”, “Kucing-Kucing Suginame”, “Kucing Nomor Enam Takahashi Mizore”. Kehadiran kucing di dalam lima cerpen tersebut memiliki peran sentral. Dan menariknya, sebagian besar kisah kucing di lima cerita itu selalu beririsan dengan kisah laki-laki yang berurusan dengan kesepian, keputusasaan, dan kekecewaan.

Misalnya, “Kakek dalam Kucing-kucing Takamoto” berkisah tentang laki-laki tua yakni Takamoto yang bersahabat dengan laki-laki muda. Takamoto ini rupanya berselingkuh dengan nenek si anak muda tersebut. Pada intinya, perselingkuhan ini diketahui oleh kakek si anak muda ini. Si kakek rupanya tak ada yang bisa dilakukan selain menerima kenyataan bahwa istrinya sudah berselingkuh dengan si Takamoto. Ceritanya menjadi menarik ketika si kakek, sebelum kematiannya, berpesan kepada cucunya bahwa ruhnya akan masuk ke dalam salah satu dari tiga kucing milik Takamoto. Dari situlah si anak muda akhirnya bersahabat dengan Takamoto, laki-laki tua selingkuhan neneknya.

“Kucing-Kucing Suginame” mengambil latar waktu pandemi (barangkali terinspirasi dari Covid-19). Kisah ini mengulik kisah kucing-kucing hubungan mereka dengan manusia beragam latar kelas sosialnya. “Di taman Kashinomiya, empat malam sebelum bulan gawat pandemi, kucing-kucing Distrik Suginami berkumpul. Ada ribuan jumlahnya. Anehnya tak satupun manusia menyadari bahwa di taman Kashinomiya itu, sedang berkumpul kucing yang sebegitu banyaknya. Orang-orang takut keluar rumah mengikuti anjuran pemerintah waktu itu.” (hlm 111).

“Kucing Nomor Enam Takahashi” nampaknya jadi kisah yang melibatkan kucing yang berbeda sama sekali dengan kisah kucing lainnya. Lebih tragis, lebih kompleks, dan lebih mencekam. Kisahnya tentang seorang laki-laki yang jatuh cinta pada seorang perempuan bernama Takahasi. Sayang sekali Takahashi ini telah memiliki kekasih. Namun, oleh satu peristiwa laki-laki ini sempat dekat dengan perempuan itu. Karena si laki-laki tahu bahwa Takahasi sangat mencintai kucing, ia pun menawarkan dirinya untuk menjadi kucing bagi Takahashi. Dan setiap sekali sepekan laki-laki ini akan datang ke tempatnya Takahashi dan mulailah perannya sebagai kucing: mengeong, merangkak, mencakar-cakar, dan sebagainya.

Namun sialnya, saat itu si Takahashi masih menjalin hubungan dengan kekasihnya, dan malah kekasihnya semakin sayang kepadanya. Dan ketika kedatangannya kesekian kali untuk memerankan seekor kucing bertepatan dengan hadirnya kekasih Takahashi di sana, laki-laki ini dibakar rasa cemburu. Lalu dia pun membunuh keduanya. Penggambaran adegan itu sangat mencekam.

“…Endapan kemurkaan itu muncul dalam bentuk gigitan, gigi-giginya menancap ke leher lelaki ceking di depannya dan mencerabut urat lehernya begitu saja. sebelum Takahashi Mizore sempat lari keluar meminta pertolongan, rambut basahnya tertarik cakar Daiki kucing dan ia diseret ke dalam kamar.” (hlm 147).

Begitulah, “Kakek dalam Kucing-Kucing Takamoto” akan membawa kita pada kisah-kisah berlatar Jepang, lengkap dengan masalah yang dihadapi manusia-manusianya. Ditambah pula kehadiran kucing-kucing akan membawa kita perasaan yang menggemaskan sekaligus mencekam. Rasa-rasanya, pecinta kejepangan jepang (segala hal yang berkaitan dengan dunia Jepang) dan pecinta kucing akan mengagumi cerita-cerita di dalam buku cukup tipis ini.

Dedy Ahmad Hermansyah

3 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: