RT - readtimes.id

Kekerasan Masih Hantui Pekerja Pers

Readtimes.id — Kekerasan terhadap pekerja pers menjadi persoalan yang tidak ada habisnya. Bukan hanya sang jurnalis saja yang dijadikan korban kekerasan, bahkan bisa sampai pada perusahaan medianya.

Sepanjang tahun 2022, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 61 laporan dari jurnalis yang menjadi korban kekerasan ketika sedang melakukan peliputan. Data tersebut mengalami peningkatan hampir 50 persen dibanding tahun 2021 sebanyak 43 kasus.

“Total semua sekitar 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat dengan berbagai macam jenis kekerasan seperti kekerasan fisik dan non fisik, tapi yang paling banyak itu kekerasan digital,” jelas Erick Tanjung, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) dan Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia pada Readtimes.id, Rabu (8/2).

Erick Tanjung, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) dan Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia

Hingga saat ini tidak hanya kekerasan fisik dan non fisik saja, namun juga muncul istilah yang disebut dengan kekerasan digital yang menyerang akun-akun yang dimiliki jurnalis.

“Ada juga kekerasan di ranah digital, kekerasan ini bentuknya menyerang akun media sosial jurnalis seperti facebook, instagram, dan whatsapp mereka diretas oleh pihak tertentu yang diduga tidak menyukai pemberitaan yang dibuat,” ujar Erick.

Selain peretasan, jenis serangan digital yang dialami oleh jurnalis yaitu doxing. Yaitu pelaku kekerasan akan menyebarluaskan informasi pribadi korban.

Ada juga kekerasan digital yaitu DDoS (Distribute Denial of Service) yang menyerang media secara langsung, seperti yang dialami oleh Narasi beberapa waktu lalu.

Upaya Advokasi Korban

Ketika terjadi kasus kekerasan terhadap jurnalis, KKJ bersama dengan AJI akan turun tangan untuk melakukan proses advokasi dan melakukan verifikasi kasus dengan menemui korban.

“Tiap menerima laporan kekerasan, sebelum kami lakukan advokasi, kami terlebih dahulu melakukan verifikasi kasusnya dengan menemui korban dan memastikan kondisi kesehatan, kita juga memperhatikan kondisi psikis korban, jika membutuhkan psikolog dan didukung oleh perusahaan korban, maka kami akan memfasilitasinya,” jelas Erick.

Setelah melakukan verifikasi kasus, selanjutnya KKJ dan AJI akan langsung merilis dan mendampingi kasus tersebut untuk dibawah ke ranah hukum.

Sayangnya, masih ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tidak tuntas di ranah hukum. Erick menerangkan bahwa terkadang kasus yang sudah diserahkan ke kepolisian tidak diproses sampai selesai.

“Selama ini kan terkadang kasusnya mandek di kepolisian dan hukum, harusnya dapat diproses secara tuntas sampai ke pengadilan. Biar ada efek jera, sehingga orang jadi berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan terhadap jurnalis,” tambahnya.

Sejalan dengan peringatan Hari Pers Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Februari 2023, Komite Keselamatan Jurnalis menyerukan kepada semua rekan jurnalis untuk tetap menjaga independensi dan mengutamakan keselamatan saat bertugas.

“Inikan di tahun menjelang pemilu 2024, potensi kerawanan tersirat dengan kepentingan politik tertentu untuk menjunjung kebebasan pers salah satunya dengan menjaga independensi dan melindungi keselamatan jurnalis,” ungkap Erick.

Erick juga meminta kepada aparat kepolisian dan TNI untuk turut menjaga kebebasan pers dengan memproses secara sungguh-sungguh kasus kekerasan terhadap jurnalis hingga selesai.

Hal yang sama juga berlaku kepada masyarakat untuk mengetahui bahwa jurnalis bekerja untuk kepentingan publik dilindungi oleh Undang-Undang Pers dan Konstitusi UUD 1945.

Baca Juga: Upah Layak Jadi Prasyarat Independensi Insan Pers

Dewi Purnamasakty

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: