RT - readtimes.id

Kekerasan Seksual dalam Bingkai Media Kita

Readtimes.id–Dalam banyak pelatihan jurnalistik, peristiwa seksual memiliki  nilai dan daya pikat tersendiri untuk diberitakan selain peristiwa konflik, figur, atau hal-hal yang memiliki dampak luas bagi publik. 

Namun demikian, melaporkan atau menulis  berita peristiwa seksual khususnya kekerasan seksual membutuhkan rambu-rambu khusus,mengingat dampaknya tidak terbatas pada pembaca saja melainkan juga korban, baik menyangkut keselamatan juga bahkan masa depan. 

Seperti yang diketahui dalam kode etik jurnalistik terdapat sejumlah rambu-rambu terkait bagaimana kemudian seorang jurnalis atau pewarta menulis tentang peristiwa kekerasan seksual yang terjelaskan dalam sejumlah pasal.

Dalam pasal 4 misalnya, wartawan dilarang membuat berita cabul, dimana dalam poin C dijelaskan bahwa cabul adalah menggambarkan tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. 

Sementara pada pasal 5  yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan ” adalah penjelasan terkait bagaimana menuliskan pemberitaan terkait kekerasan seksual dengan korban dan pelaku adalah anak dibawah umur.

Hal yang kemudian jarang menjadi pertimbangan sejumlah  media hari ini, terutama media daring di tengah kompetisi perolehan hit, SEO friendly, dan google friendly untuk mendapatkan penghasilan. Seperti yang pernah  diungkapkan wartawan Tempo dalam sebuah pemaparan hasil analisa yang bertajuk “Sejauh Mana Media Telah Memiliki Perspektif Korban Kekerasan Seksual?” yang digelar oleh Komnas Perempuan. 

Dalam  praktiknya, media  tidak ragu menggunakan bahasa yang seksis dan menghakimi korban sebagai sosok yang kehilangan kehormatan baik dari judul atau pun tubuh berita yang menggambarkan secara detail peristiwa yang dialami korban. Seperti dengan menyebut bagian-bagian  tubuh korban yang turut membangkitkan fantasi seksual pembaca demi mendapatkan respon ” click” dari pembaca.

Hal yang sejatinya membuat korban secara tidak langsung mengalami “second rape” atau pemerkosaan kedua kalinya seperti yang dijelaskan oleh Muliadi Mau, dosen jurnalistik dan studi media Universitas Hasanuddin kepada readtimes.id. 

Menurutnya, hal ini akan mengaburkan tujuan berita yang sesungguhnya, yakni menyampaikan informasi bahwa telah terjadi tindakan kekerasan seksual  yang dialami oleh korban yang seharusnya mendapatkan perhatian dan simpati dari publik atas kejadian yang telah menimpanya. 

Tidak sampai di situ saja media juga secara tidak sadar turut memaklumi pelaku dengan  melakukan eufemisme atau penghalusan makna kata untuk memperkosa menjadi “menggagahi” atau “menyetubuhi” yang dampaknya mengaburkan makna bahwa  kekerasan seksual adalah sebuah tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). 

Namun jika ditelusuri lebih jauh, penulisan berita yang demikian memang jarang diketahui oleh korbannya, karena sejak awal media tidak pernah meminta izin terlebih dahulu untuk menuliskannya dengan menggunakan diksi-diksi yang demikian. Sehingga korban sendiri bahkan tidak sadar bahwa ia telah mengalami kekerasan simbolik dari pemberitaan media, yang dampaknya bisa saja mengancam keselamatan juga masa depan. 

Lantas bagaimana jika korban setuju diberitakan demikian dengan tujuan untuk membuat pelaku malu? 

Sebuah pertanyaan yang akan mengantarkan kita pada sebuah reportase pers mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Balairung Press tahun 2018, dengan judul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan. 

Sebuah laporan yang tidak hanya berdampak pada diturunkannya sebuah kebijakan kampus dalam menerbitkan standar operasional prosedur (SOP) dalam menangani kasus kekerasan seksual di lingkup kampus, namun juga perdebatan terkait etika menulis berita kekerasan seksual. 

Pasca Kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya) yang dilakukan oleh rekan sesama mahasiswa UGM tersebar bahkan menjadi trending topik di media sosial, Balairung Press juga menerima kritikan oleh lembaga advokasi perempuan yang menilai pemberitaan terkait Agni terlalu detail menceritakan apa yang dialami korban dan beberapa hal terkait identitas korban sehingga korban berpotensi  mengalami “second rape”. 

Dalam penjelasannya pada seorang pegiat media juga managing editor sebuah media berbahasa Inggris di Jakarta, Evi Mariani, Balairung mengaku telah mendapatkan persetujuan dari Agni, bahkan menurut Thovan Sugandi editor Balairung, Agni bahkan telah membaca draft tulisan tersebut dan melakukan revisi terkait beberapa hal yang tidak ingin ia terbitkan. 

Adapun satu bagian yang penting lagi, Citra Maudy penulis artikel tersebut  bahkan telah berdiskusi panjang lebar dengan korban, termasuk membahas risiko-risiko apa saja yang dihadapi korban ketika tulisan sudah terbit. 

Menanggapi ini Muliadi Mau memandang meskipun korban telah setuju, seorang jurnalis atau pewarta seharusnya tetap mempertimbangkan masalah-masalah yang akan dialami korban ke depan yang membuat masalah justru semakin rumit. 

“Sebagai seorang jurnalis atau pewarta penting kemudian untuk menjunjung nilai-nilai humanity dalam setiap pemberitaan. Karena selain menghindarkan korban dari masalah yang lebih besar. Ada tugas media yang tidak boleh terlupakan yakni mendidik publik, ” pungkasnya.

Ona Mariani

2 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: