Hari Minggu pekan silam, 05 November, di Tulungagung Jawa Timur, saya menikah. Hari yang membahagiakan, tentu saja. Kini saya resmi menjadi suami untuk mantan kekasih yang saya pacari dua tahun lebih.
Kami masih suka mengenang-ngenang masa-masa mesti terbangun dini hari, berurusan dengan penata rias, menjalani akad nikah di mana saya melakukan kesalahan satu kali, lalu melangsungkan resepsi di mana kami mesti berdiri kurang lebih dua jam menyalami para tamu undangan yang datang ke panggung pelaminan.
Namun, di antara kenangan yang masih jelas itu, ada satu yang masih membuat kami merasa menjadi pengantin istimewa: kado empat eksamplar buku puisi yang memang khusus dituliskan untuk pernikahan kami. Kami berdua dengan mudah mengenali sosok pada sampulnya yang hitam putih itu sebagai diri kami berdua—berdampingan sembari menggendong dua kucing. Di atas sampul tertulis, “Ketika Cinta Dilayarkan Mari Kita Jadi Mempelai”.
Sontak saat buku itu diserahkan ke genggaman kami oleh dua tamu undangan—laki-laki dan perempuan berusia muda—, seluruh kelelahan kami akibat berdiri dalam waktu lama luruh seketika. Kami seperti anak kecil yang girang diberikan lollipop oleh sahabat kami. Sayang sekali, kami ‘terkungkung’ di pelaminan sehingga hanya bisa menyaksikan punggung mereka berdua menjauh tanpa sempat bertanya lebih jauh tentang seluk beluk buku itu.
Buku puisi itu adalah satu-satunya kado yang kami bawa sejak acara resepsi pernikahan kami. Kami selalu memandangnya dan membaca satu dua puisi di dalamnya, sambil menerka-nerka bagaimana upaya sang perancangnya mengumpulkan puisi-puisi dari beberapa penyair untuk dibukukan.
Dan untuk mengapresiasi usaha yang sungguh manis itu, saya merancang satu esai tentang kado pengantin yang berisi doa-doa puitik. Ya, saya telah membaca 22 puisi di dalam “Ketika Cinta Dilayarkan Mari Kita Jadi Mempelai”. Aku anggap seluruh puisi di dalamnya serupa doa-doa dan harapan-harapan untuk kami.
Sajak sehari-hari, berhadapan dengan penghulu, hingga harapan memiliki halaman seluas doa-doa
Misteri pelan-pelan terungkap. Buku puisi ini dirancang oleh Mas Sigit Susanto, seorang penulis dan penerjemah, yang kini sedang tinggal di Swiss. Kami menjadi kian akrab dengan laki-laki Jawa yang menikahi perempuan Eropa itu itu saat Mas Sigit sempat pulang ke Indonesia dan datang ke Lombok tempat kami tinggal sekarang ini.
Kami sering diskusi tentang sastra, khususnya karya-karya Franz Kafka penulis Jerman yang beberapa karyanya sudah diterjemahkan oleh Mas Sigit ke dalam bahasa Indonesia. Menurut kami, sastra itu bukan sekadar makanan bagi Mas Sigit. Tapi Mas Sigit telah menjadikan sastra sebagai jiwanya sendiri, wahana bermain sehari-hari, dan wadah berbagi dengan orang lain.
Dalam semacam kata pengantar yang ditulis Mas Sigit dalam buku puisi ini, “Jalan Itu Panjang”, dia mengutip kalimat seorang sastrawan legendaris Indonesia yang beberapa tahun lalu meninggal dunia, Umbu Landu Paranggi: “bawalah puisi dalam kehidupan sehari-hari.” Ya, keyakinan kami akan karakter Mas Sigit semakin kukuh oleh kutipan tersebut.
Ada 22 puisi di dalam “Ketika Cinta Dilayarkan Mari Kita Jadi Mempelai” ini. Ada puisi yang tanpa titi-mangsa (tanggal penulisan), ada yang ditulis hanya berselang 3 sampai 4 hari sebelum acara pernikahan kami, dan ada yang titi-mangsanya berkisah 2017 sampai 2018. Kami hanya menerka-nerka, nampaknya Mas Sigit benar-benar menodong para penyair tersebut untuk menyerahkan puisi untuk kami—sebagaimana ditulisnya dalam semacam kata pengantar. Dan ada di antara para penyair itu yang tak sempat membuat yang baru sehingga menyerahkan stok puisi lamanya, dan ada pula yang benar-benar baru membuatnya.
Beberapa penyair tentu kami ketahui dengan baik, ada beberapa yang kami kenal baik, sisanya adalah nama-nama asing yang sungguh tulus membuat puisi untuk kami. Di sana ada Raudal Tanjung Banua, D. Zawawi Imron, Hasta Indriyana, Sihar Ramses Simatupang, Rizka Umami, Arman Dhani, dan lain-lain—maafkan kami tak sempat menyebut keseluruhannya. Ada empat puisi yang memuat nama kami baik lengkap atau tidak, satu puisi yang menyebut nama salah dari kami, dan satunya hanya menyebut “untuk kalian”.
Ada puisi-puisi yang serupa wejangan, sekadar bercerita tapi menyejukkan, dan ada pula yang seperti peramal yang tahu betul karakter kami sang pengantin. Puisi dibuka dengan sajak Raudal Tanjung Banua, “Sajak Sehari-hari”, diakhiri dengan sajak “Arti Pernikahan” dari penyair Djodi B. Sambodo. Raudal menyajikan hisah kehidupan rumah tangga yang penuh tantangan, namun dijalani dengan penuh keteguhan hati dari hari ke hari. “maka kuteguk/mendung langit tanah air/naik turun biduk rumah tangga/di antara gelombang harga-harga/dan anak-anak kita yang terbungkuk/menyandang tas ransel ke sekolah//”.
Tapi ada satu puisi yang entah kebetulan nyaris menyerupai karakter kami dan peristiwa-peristiwa yang kami jalani selama pacaran. Puisi itu berjudul, “Tiba-tiba di Depan Penghulu”, oleh Heri Santoso. Begini sedikit kutipannya:
…
Rasanya baru kemarin
Ku terkenang
Saat kita berkencan
Sambil menikmati sastra
Ataupun diskusi buku
Dengan malu-malu
Kini
Kau adalah sastraku
Kau adalah puisiku
Kau adalah bukuku
Yang kan kunikmati setiap hari
…
Beberapa puisi seakan hendak menjelaskan kepada kami kehidupan pernikahan itu seperti apa. Ada yang mengumpamakannya seperti taman bermain (dalam puisi, “Sebuah Taman Bermain”), atau seperti jembatan (dalam puisi, “Jembatan”), atau buku baru (dalam puisi, “Buku Baru”).
Tentu akan terlalu panjang jika saya hamparkan masing-masing puisi dalam tulisan yang dimaksudkan pendek saja dan sederhana ini. Namun demikian, kami benar-benar membacanya dan dapat mendengar ada doa tulus dalam setiap bait-bait yang tertulis. Dan kami berdua menghaturkan beribu-ribu terima kasih kepada semua pelantun doa-doa tersebut.
Mari kami kutipkan satu bait puisi sebagai penutup catatan sederhana ini. Puisi berjudul “Setelah hari Istimewa” yang ditulis oleh Hasta Indriyana.
…
Setelah hari istimewa ini kita akan menuju
Rumah yang perabotnya kesabaran
Yang halamannya seluas doa-doa
Kekasih, aku dan kamu melangkah memunguti
Biji-biji cahaya dari kalimat-kalimat Tuhan
Yang tiap saat senantiasa kita genggam
….
Doakan kami menciptakan rumah dengan halaman serupa itu. Dan doakan kami pula agar agar biji-biji Cahaya dari kalimat-kalimat Tuhan akan senantiasa ada di genggaman kami, tak akan terlepas.
72 Komentar