
Readtimes.id– Gonjang-ganjing keretakan di tubuh Demokrat tak lagi dapat ditutupi, tatkala para mantan kader senior partai berlambang bintang mercy tersebut menyelenggarakan Konferensi Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara belum lama ini dan menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai yang kini dipimpin oleh putra Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
Keterlibatan Moeldoko yang notabene menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan sekaligus orang terdekat Presiden Jokowi tersebut, secara tidak langsung menggambarkan bahwa ada campur tangan pemerintah dalam keretakan rumah tangga partai yang dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY) tersebut yang notabene sekarang adalah partai oposisi pemerintah.
Wacana ini semakin menguat di publik, mengingat kudeta partai yang didukung oleh pihak eksternal dalam hal ini pemerintah tidak hanya terjadi satu kali ini saja, melainkan beberapa kali.
Di era orde baru misalnya. Peristiwa Kudatuli ( Kudeta 27 Juli) tahun 1996 yang tak lain adalah puncak dari penurunan Megawati secara paksa oleh para pendukung Soerjadi melalui proses KLB dari kursi Ketua Umum, secara terang-terangan juga menunjukkan peran Soeharto sebagai Presiden.
Selain itu ada pula Partai Berkarya di bawah kepemimpinan Tommy Soeharto yang pada tahun lalu juga digegerkan dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-17.AH.11.01 Tahun 2020 yang ditandatangani oleh Menteri Yasonna Laoly untuk mengesahkan kepengurusan partai baru di bawah pimpinan Muchdi Purwoprandjono. Seperti yang diketahui Tommy Soeharto pada tahun 2019 lebih condong ke Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Benarkah ini konsekuensi dari oposisi?
Arqam Azikin pengamat politik kebangsaan memandang bahwa sejatinya itu bukan disebabkan karena kedudukan partai tersebut menjadi oposisi pemerintah yang tengah berkuasa, melainkan karena tidak terpenuhinya syarat politik modern di Indonesia
“Saya justru melihatnya karena tidak terpenuhinya syarat partai politik modern di Indonesia, terutama mengenai syarat pencalonan Ketua Umum Partai yang tidak tertuang di dalam undang-undang partai politik” ujar Arqam
Pihaknya menilai harusnya persyaratan calon Ketua Umum sebuah Partai Politik tidak hanya termaktub dalam AD/ART partai melainkan juga di undang-undang partai agar tidak mudah diintervensi dan diubah-ubah sesuai kebutuhan para kader atau pengurus partai politik yang bersangkutan
” iya jelas menurut saya untuk menghindari pihak luar mencampuri urusan partai dalam hal ini terkait posisi Ketua Umum, harusnya persyaratan itu tertuang dalam undang-undang parpol dimana seharusnya menyebutkan bahwa yang ingin menjadi calon Ketum Parpol harus menjadi kader partai minimal lima tahun. Tidak cukup ada di AD/ART karena itu kan mudah saja dirubah ” tambahnya
Ini menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan sekaligus untuk menghindari lahirnya para pemimpin partai yang prematur dan kurang berkapabilitas dalam memimpin partai.
Jika demikian adanya maka sejatinya yang terjadi saat ini di Indonesia adalah adanya fenomena disfungsi partai politik dimana partai tidak menjalankan fungsi dan perannya sebagaimana mestinya dalam melakukan rekrutmen politik, kaderisasi, sosialisasi, dan sirkulasi politik.
Tambahkan Komentar