RT - readtimes.id

Kyal Sin, Peluru dan Damai Untuk Myanmar

Ma Kyal Sin, mahasiswi cantik dari jurusan Sastra Jerman di Universitas Yadanabon, Mandalay, terbunuh. Ia menghembuskan napas terakhir, akibat terjangan peluru militer Myanmar. Ia dan ratusan rekan-rekannya sedang berada di tengah demonstrasi pada Rabu, 3 Maret 2021.

Tidak hanya cantik, Ma Kyal Sin (19 tahun) adalah sosok mahasiswi tekun dan ulet. Meskipun berasal dari keluarga sederhana (ayahnya adalah seorang tukang cukur), Ma Kyal Sin aktif di ekstrakurikuler bela diri Taekwondo, dan mengisi waktu luang dengan menjadi penyanyi dan penari.

Setelah kematiannya, ratusan foto-fotonya di tengah demonstrasi beredar di sosial media. Ia tampil ekspresif di lapangan, layaknya seorang aktris sedang tampil di panggung. Tulisan di t-shirt hitam yang ia kenakan saat tertembak: “Everything will be OK” (semuanya akan baik-baik saja), menjadi simbol perlawanan rakyat.

Sebelumnya, pada 28 Februari lalu, peristiwa yang sama menimpa Nyi Nyi Aung Htet Naing (23 tahun). Ia adalah mahasiswa semester akhir pada West Yangoon University yang mendalami Bahasa Myanmar. Sebelum tertembak, ia meninggalkan pertanyaan di akun Facebooknya: #How_Many_Dead_Bodies_UN_Need_To_Take_Actions.

Selain Ma dan Nyi, juga ada Zin Ko Ko Zaw (23 tahun) dan Nay Myo Aung (16 tahun). Keduanya juga tewas di tengah demonstrasi, terpapar peluru yang nampak jelas ditargetkan untuk membunuh. Kedua tertembak di kepala dan di lambung. Zin Ko Ko Zaw menghembuskan napas terakhir dipangkuan saudara kembarnya, Tan Zaw Oo, ditengah kerumunan massa yang kocar-kacir.

Kematian para mahasiswa akibat peluru tentara telah memicu kemarahan global atas situasi di Myanmar. CNN melaporkan pada Jum’at (5/3), total kematian telah mencapai 54 orang masyarakat sipil. Sebagian besar adalah demonstran yang dipaksa untuk membubarkan diri.

Sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021, rakyat Myanmar bereaksi melawan. Pada awalnya, upaya penolakan itu hanya ditunjukkan dengan memukul panci, membunyikan klakson, atau membaca puisi.  Sebulan berlalu, kegeraman rakyat termanifestasi menjadi kemarahan, memicu demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri.

Rejim militer selalu mengandalkan senjata untuk memaksakan legitimasi. Bahasa formalnya adalah “menegakan hukum dan menciptakan ketertiban”. Tetapi dalam prakteknya, militer mengganti hukum dengan laras dan senjata, dan mendefinisikan ketertiban sebagai “tunduk dan patuh”.

Ma Kyal Sin, dan ribuan mahasiswa, pemuda, dan rakyat di seantero Myanmar tidak rela kehilangan kebebasan. Mereka sejak lama telah memperjuangkan demokrasi, dimana harapan untuk itu semakin menjanjikan. Namun, kehadiran militer mengambil alih kekuasaan seolah datangnya mendung di pagi hari yang cerah.

Sebagaimana dilaporkan oleh universityworldnews.com, berbagai kampus di Myanmar mempelopori gerakan pembangkangan sipil (Civil Disobedience Movement, CDM). Para dosen dan mahasiswa bahu-membahu turun ke jalan, mengajak rakyat untuk menolak patuh.

Organisasi sayap Liga Nasional untuk Demokrasi (partai pendukung Aung San Su Kyi) yang bernama The Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) menyatakan bahwa militer Myanmar sebagai “organisasi teroris”. Pernyataan yang disampaikan pada 1 Maret 2021 ini, konon, justru semakin memicu kemarahan militer.

But, enough is enough…

Kita tidak ingin jatuh lebih banyak korban. Melihat gelagat militer Myanmar yang semakin beringas, sudah saatnya otoritas global turun tangan. Sanksi dan boikot oleh berbagai negara dan organisasi internasional nampaknya belum cukup (dan mungkin tidak akan memadai) untuk menjinakkan junta.

Para aktivis dan organisasi hak asasi manusia kini menyerukan intervensi nyata ke Myanmar, bukan hanya sekedar kecaman dan kutukan. China, ASEAN, dan PBB adalah tiga elemen penting yang dapat menjalankan peran itu, melakukan intervensi dalam batas-batas yang memadai.

Dunia internasional memang menghadapi dilema prinsip kedaulatan. Mekanisme Responsibility to Protect yang dapat mengaktifkan protokol penggunaan intervensi militer seharusnya dihindari. Akan tetapi, Dewan Keamanan PBB, dimana China adalah salah satu negara kunci di dalamnya, harus segera memaksa junta militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan.(*)

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: