Readtimes.id– Pemangkasan hukuman terdakwa kasus korupsi kembali dilakukan Mahkamah Agung (MA). Kali ini pada bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang sebelumnya tersandung kasus suap benih lobster pada 2021.
Alhasil dari putusan MA tersebut, Edhy hanya akan menjalani hukuman penjara selama lima tahun dari yang semula sembilan tahun. Selain itu Edhy yang sebelumnya dicabut hak politiknya untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun belakangan hanya menjadi dua tahun saja.
Alasan MA memangkas hukuman Edhy yakni karena menurut majelis kasasi, hakim di tingkat banding tidak mempertimbangkan unsur meringankan terdakwa dalam memutus perkara. Dalam penilaiannya MA, Edhy dianggap memberikan harapan besar kepada nelayan.
Hal ini tidak lain karena Edhy pernah mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/ PERMEN- KP/2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri KP Nomor 12/PERMEN-KP/2020 tentang aturan pemanfaatan benih benih lobster (BBL). Atas perubahan tersebut eksportir disyaratkan memperoleh BBL dari nelayan kecil. Hal inilah yang kemudian dipandang sebagai bentuk keberpihakan Edhy pada masyarakat.
Pakar hukum pidana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin, memandang bahwa alasan hakim dalam memutus tidak sesuai fakta-fakta persidangan.
“Kebijakan Edhy Prabowo tidak ada hubungan dengan perkara korupsinya,” terangnya pada readtimes.id pada Kamis (11/3).
Menurutnya, sebagai orang yang menegakkan hukum demi keadilan seyogianya hakim harus berlandaskan pada aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai pertimbangan berdasarkan alat bukti yang sah serta para saksi yang telah disumpah di depan persidangan.
Selain itu, tambahnya, bila merujuk pada pasal 1 undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
“Kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang perkara pidana,” jelas Rahman.
Bukan Kali Pertama
Edhy Prabowo bukanlah terpidana korupsi pertama yang menerima pemotongan masa hukuman. Sebelumnya ada pengacara senior OC Kaligis terkait kasus suap yang sebelumnya dijatuhi pidana 10 tahun namun belakangan dikurangi menjadi 7 tahun.
Baca Juga : Remisi dan Ironi Pemberantasan Korupsi
Berikutnya ada mantan Bupati Talaud, Sri Wahyuni Manalip terpidana suap revitalisasi Pasar Lirung dan Pasar Beo yang akhirnya menjalani hukuman dua tahun dari sebelumnya 4,6 tahun.
Selanjutnya adalah Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum terpidana suap Hambalang yang sebelumnya dihukum selama 14 tahun namun pada September MA memangkas pidananya menjadi 8 tahun.
Menanggapi ini Rahman menyesalkan deretan keputusan Mahkamah Agung tersebut . Menurutnya hakim agung harusnya mampu menjaga marwah MA melalui tiap keputusan yang diambilnya.
“Integritas dan kredibilitas hakim agung seharusnya mampu menjaga marwah MA,” tambahnya.
Rahman menjadikan Sosok Artidjo Alkostar sebagai sosok yang mesti menjadi panutan bagi para hakim dalam membuat keputusan.
“Banyak kasus korupsi ketika di Mahkamah Agung tidak mendapatkan pengurangan bahkan di zaman Artidjo justru hukumannya bertambah sehingga terpidana korupsi tidak mengajukan kasasi,” ungkapnya.
Lebih dari itu menurutnya dari segi kemanfaatan sejatinya pengurangan masa hukuman ini akan menyulitkan upaya pemerintah dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Editor : Ramdha Mawadda
5 Komentar