RT - readtimes.id

Lebaran Bersama Pandemi, Momen Berdamai dengan Diri Sendiri

Saya tidak bisa membayangkan, andaikan Ismail menolak patuh kepada Ayahnya, Ibrahim, kisah ibadah Qurban tidak  lagi punya makna. Tidak ada cerita ketaatan seorang anak kepada ayah, begitu pula cerita kemuliaan seorang Bapak Ibrahim yang patuh kepada perintah Tuhan.

Apa yang membuat epik Hari Raya Idul Adha senantiasa menjadi kisah abadi yang layak untuk dikenang? Ya, tentu karena peristiwa di balik hari raya kurban itu sendiri. Cerita tentang kesediaan pengorbanan dan ketaatan seorang anak yang bernama Ismail dan loyalitas seorang hamba Tuhan yang bernama Ibrahim.

Kedua sosok itu, merupakan manusia agung karena mampu berdamai dengan diri mereka sendiri. Andaikan saja, Ismail layaknya Caligula, Kaisar Romawi yang tega membunuh pamannya agar naik tahta atau cerita Amangkurat II yang tega memberikan racun kepada sang ayah hanya karena persaingan memperebutkan  wanita bernama Roro Honyi, tentu Ismail tidak akan hadir menjadi pewaris para nabi.

Begitu pula, kisah Ibrahim hanya akan menjadi cerita Herodes atau Fir’aun yang tega membantai anak laki-laki termasuk anak sendiri, hanya karena takut akan ramalan kelahiran seorang bayi laki-laki yang akan mengancam tahta mereka. Ibrahim dalam lakon hidupnya, bukan mengorbankan anak laki-laki kesayangannya karena tahta, namun karena perintah Tuhan yang datang sebagai ujian pembuktian cinta Ibrahim antara Tuhan atau putranya sendiri.

Lebaran Bersama Pandemi, Momen Berdamai dengan diri Sendiri

Lebaran kali ini masih kita rayakan bersama pandemi. Situasi yang membuat kita dipenuhi rasa ketakutan, kecemasan, dan  situasi penuh ketidakpastian. Kabar duka dari kerabat, sahabat dan saudara dekat tidak berhenti datang dan pergi. Membuat banyak dari kita dilanda frustasi dan tekanan psikologis berkepanjangan.

Upaya pemerintah lewat  Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) juga belum punya efek besar. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, pada awal pelaksanaan PPKM darurat, 3 Juli 2021, tercatat 27.913 kasus positif per hari. Namun, hingga batas akhir PPKM darurat, 20 Juli 2021, masih ada penambahan 38.325 kasus positif per hari. Artinya, upaya PPKM darurat belum menunjukkan hasil signifikan.

Sudah hampir dua tahun, layaknya tahanan rumah kita tidak bisa bergerak bebas mencari nafkah, bergaul ,dan berinteraksi layaknya manusia normal. Sebagian kalangan sudah berada pada ambang batas kesabaran dan kemampuan bertahan. Tidak terhitung lagi berapa banyak bisnis kecil sampai besar yang akhirnya ambruk akibat musuh yang tidak kasat mata.

Lalu dalam situasi seperti ini, apa yang harus kita lakukan? Mestikah kita mengutuk dan marah kepada pemerintah, virus, atau orang banyak yang juga belum sadar dan taat pada protokol kesehatan? Pentingkah kita menggugat Tuhan, mengapa belum pula menghilangkan bencana pembunuh massal itu dari negeri ini?

Pada situasi yang seperti sekarang, mungkin kita harus kembali pada ketauladanan Ibrahim dan Ismail yang mampu berdamai dengan diri mereka sendiri. Ibrahim yang akhirnya rela mengorbankan putra kesayangan yang sudah lama dinantikan untuk menjadi bukti ketaatan dan cinta kepada Tuhan.

Begitu pula kita harus belajar kepada Ismail seorang anak yang mampu berdamai dengan diri sendiri, rela menjadi kurban sebagai bukti ketaatan kepada orang tua dan Tuhan.  Kedua sosok agung itu telah mengajarkan hal yang esensial dari hidup yakni kemampuan menerima setiap momen kehidupan dengan berlapang dada.

Karena terkadang dalam hidup hal yang sering kita lupakan adalah kesadaran dan kesabaran menghadapi situasi yang berada di luar kendali kita. Dunia yang selama ini kita huni dipenuhi oleh ambisi penaklukan, kompetisi, dan kehendak bertahan hidup yang membuat kita lupa terkadang dalam hidup yang kita butuhkan hanyalah keyakinan kepada kekuasaan Tuhan.

Layaknya kisah yang juga dicontohkan oleh Ismail dan ibunya Siti Hajar yang sedang berada di lembah yang gersang dan panas. Tangis bayi Ismail yang kehausan membuat naluri sang ibu berlarian ke sana ke mari mencari air dan pertolongan. Namun, akhirnya segala upaya dan daya istri Nabi Ibrahim tersebut berakhir sia-sia. Tidak ada pertolongan dan tidak ada mata air yang ada hanya air mata bayi Ismail.

Namun, keyakinan sang ibu atas kekuasaan Tuhan tidak pernah berkurang. Ketika Siti Hajar akhirnya mampu berdamai dengan diri sendiri, tidak lagi gelisah dan cemas,  Tuhan justru memberikan pertolongan lewat hentakan kaki kecil Ismail di tanah yang gersang dan tandus yang akhirnya mengalirkan air yang deras, air yang kini kita kenal sebagai Zamzam.

Mungkin kita perlu menjadi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar  yang hanya butuh berdamai dengan diri sendiri lalu belajar menerima situasi pandemi yang belum berlalu,  sambil berserah, tetap berikhtiar, dan berlapang dada akan kekuasaan Tuhan.

Selamat lebaran…

Rahmad M. Arsyad

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: