Readtimes.id–Pemerintah melalui Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan mengatakan, nikel harus digarap di dalam negeri sampai menjadi bahan mentah buat pembuatan bahan baku siap pakai untuk, antara lain baterai. Sayangnya kebijakan ini tidak diiringi dengan kualitas hilirisasi yang optimal di tanah air.
Saat ini Indonesia sedang digugat di World Trade Organization (WTO) oleh Uni Eropa terkait kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bijih nikel, karena 27 persen nikel dunia ada di Tanah Air.
Pada akhirnya hal ini pun diduga membuka celah bagi oknum-oknum nakal melakukan ekspor bijih nikel secara ilegal. Ditambah dengan kurangnya pengawasan pemerintah terhadap praktik tersebut.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan, menyebut syarat hilirisasi menjadi salah satu hal yang dikeluhkan pengusaha sekaligus mendorong penjualan ilegal bijih nikel mentah. Mamit menyebut pengusaha masih lebih senang menjual biji nikel mentah karena tidak perlu mengeluarkan investasi tinggi.
“Terkait kebocoran tersebut saya kurang bisa memastikan. Tapi saya melihatnya kemungkinan itu bisa terjadi mengingat pengawasan di Indonesia ini masih kurang. Kemudian hilirisasi di negara kita ini masih belum optimal,” jelasnya secara tertulis kepada Readtimes.id Selasa (19/10).
Mamit berpendapat pemerintah harus bertindak keras terhadap mereka yang melanggar, mulai dari pencabutan izin usaha sampai dengan membawa masalah ini ke pihak berwenang karena diniliai merugikan negara. Selain itu, pemerintah sebenarnya bisa melacak kebocoran ini dengan berkoordinasi ke pihak Tiongkok.
“Saya kira pemerintah perlu lebih tegas ya, dan hubungan kita dengan mereka (Tiongkok) kan sedang bagus, harusnya tidak sulit membuka data (kebocoran) tersebut,” jelasnya.
Maraknya ekspor ilegal tentu berkaitan dengan kondiri hilirisasi dan smelter di Indonesia. Menurut Mamit, pemerintah juga gembar-gembor soal pembangunan smelter tapi realisasinya kerap molor. Terbukti pada smelter PT Freeport Indonesia di Gresik yang baru diresmikan meski janji sudah dilontarkan sejak 2014.
Baca juga : Banjir TKA di Pusat Smelter ?
Mamit berpendapat, hingga kini hilirisasi nikel Indonesia belum maksimal karena keengganan pengusaha membangun smelter. Berdasarkan data dari Minerba, saat ini Indonesia baru memiliki 19 unit smelter dan dalam proses pembangunan masih 34 unit.
“Jadi agak sulit kita bicara hilirisasi tapi industri pendukungnya belum siap. Kendala pembangunan smelter karena biaya yang cukup tinggi sehingga faktor keekonomian menjadi terganggu,” jelasnya.
Oleh karena itu, Mamit menilai pemerintah perlu memberikan insentif agar pembangunan bisa segera diselesaikan. Karena selama ini banyak pengusaha yang memberikan janji dalam rangka menambah kouta impor mereka.
Program hilirisasi ini dinilai sangat penting karena akan memberikan nilai tambah bagi produk yang dihasilkan. Dengan demikian akan menambah penerimaan negara serta bisa menumbuhkan perekonomian nasional dengan banyak tenaga kerja yang diserap dalam kegiatan hilirisasi.
1 Komentar