RT - readtimes.id

Memahami Kolonialisme di Indonesia dari Kacamata Orang Belanda

Judul        : Semua untuk Hindia

Pengarang    : Iksaka Banu

Penerbit    : Keperpustakaan Populer Gramedia

Tahun        : 2014

Tebal        : xiv + 154 halaman

Iksaka Banu kadung dikenal sebagai penulis fiksi sejarah. Bagi pembaca fiksi Indonesia kemungkinan besar mengetahui namanya. Setidaknya sudah ada dua buku kumpulan cerpen yang dia tulis, dan kedua-duanya bertemakan sejarah, khususnya sejarah kolonialisme Eropa di Indonesia. Kumpulan cerpen teranyarnya adalah “Teh dan Penghianat” yang diganjar Pemenang Fiksi Kusala Sastra Award 2019. 

Akan tetapi, “Semua untuk Hindia” adalah buku pertama yang melambungkan namanya sebagai penulis fiksi sejarah. Jadi alangkah tidak absahnya jika kita membicarakan Iksaka Banu tanpa menyinggung karya perdananya ini.

Judul buku “Semua untuk Hindia” barangkali akan membuat pembaca menebak-nebak cerita apa yang kiranya diangkat oleh pengarang. Jika diperhatikan dari kata “Hindia”, dapat diterka terdapat unsur sejarah kolonialisme Indonesia. Terkaan ini diperkuat dengan ilustrasi sampul buku yang mengingatkan pembaca pada peperangan masa Belanda: beberapa prajurit asing memanggul senjata di pinggir laut di antara geletakan tubuh-tubuh tak berbaju.

Pembaca yang tertarik dengan fiksi sejarah pasti menyukai buku ini. Cerpen-cerpen di dalamnya dapat menjadi bacaan yang menantang. Dengan membaca cerpen-cerpen ini pembaca akan menebak kapan perang terjadi, perang apakah itu, pihak mana saja yang terlibat, dan sebagainya.

Dalam buku ini terdapat 13 cerpen—masing-masing mempunyai warna tersendiri. Ada yang berlatar sejarah pemberontakan Untung Supati pada 1680-an, pembantaian orang Cina di Batavia pada 1740, jatuhnya Batavia dari Belanda ke Inggris pada 1811, pemberangkatan Pangeran Diponegoro ke Manado pada 1830, dan sebagainya. 

Menariknya, ketika membaca secara berurutan rasannya seperti berjalan mundur dari waktu ke waktu. Cerpen pertama, “Selamat Tinggal Hindia”, misalnya, terdapat frase ‘selamat tinggal’. Cerpen ini bercerita tentang orang Belanda yang harus pergi karena pemberontakan pribumi. Lalu cerpen terakhir, “Penabur Benih”, mengandung kata ‘benih’. Cerpen ini berkisah tentang awak kapal Cornelius de Houtman saat pertama kali berlayar ke Kepulauan Nusantara. Kita tahu, de Houtman adalah orang Belanda pertama yang diutus menjelajahi nusantara untuk mencari rempah-rempah pada 1596.

Iksaka Banu piawai dalam menunjukkan sesuatu tanpa menunjukkannya secara langsung. Dia cenderung menggunakan cara tidak langsung untuk memberitahukan pembaca tentang latar belakang sejarah yang diangkatnya. Seperti dalam percakapan antar tokoh, penyebutan nama tempat, dan penampakan konflik.

Duda, dokter, jurnalis, prajurit, dan sebagainya: tokoh-tokoh minor serupa ini yang menjadi pemeran utama cerpen-cerpen Iksaka Banu. Profesi seperti itu cenderung tidak begitu besar keterlibatannya dalam peperangan. Nah, oleh Iksaka Banu, mereka inilah yang dijadikan tokoh utama, dengan sudut pandang unik. Sebagai caatan: semua cerpen dalam “Semua untuk Hindia” menggunakan sudut pandang aku-narator berbangsa Belanda.

Di sisi lain, pengarang buku ini sendiri notabene orang asli Indonesia. Bagaimana bisa dia menulis dengan sudut pandang orang Belanda?  Tentu terdapat riset yang panjang, digali dengan serius dan teliti dari membaca buku-buku orang Belanda tentang Indonesia.

Namun demikian, terdapat beberapa cerpen yang rasanya terkesan kaku karena terdapat pola cerita yang sama dan drama yang sama klasiknya. Misalnya, dalam cerpen “Selamat Tinggal Hindia”, “Stambul Dua Perang”, dan “Keringat dan Susu”. Secara umum, dalam tiga contoh cerpen yang disebutkan, struktur penceritannya sama: pendahuluan, konflik, dan penyelesaian. Di beberapa cerpen yang lain juga terdapat nuansa yang sama.

Membaca fiksi tapi hanya mendapatkan informasi, hal itulah yang terkadang dirasakan oleh sebagian pembaca. Biasanya, ketika membaca fiksi pembaca akan merenungkan isi cerita. Namun, ketika membaca cerpen-cerpen dalam buku “Semua untuk Hindia”, pembaca cenderung memikirkan waktu sejarah; tahun berapakah itu. Bisa diasumsikan, mungkin hal itulah yang diinginkan oleh Iksaka Banu: memancing pembaca untuk bernostalgia dengan sejarah, membuat pembaca berpikir tentang waktu, tentang konflik, tentang peristiwa.

Buku ini menjadi warna baru dalam perkembangan sastra Indonesia. Tidak heran jika kumpulan cerpen ini berhasil meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa pada tahu 2014 kategori fiksi.

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: