Judul : Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda
Penulis : Eernst H. Gombrich
Penerbit : marjin kiri
Tahun : edisi kedua, September 2020
Tebal : I – xxii + 368 hlm
Buku sejarah, khususnya bagi pembaca muda, menjadi bacaan yang bisa bikin kepala pening. Buku yang dipenuhi data-data yang kering, angka-angka yang mesti dihafal, nyaris tanpa jiwa, tanpa sesuatu yang mendorong emosi dan hati kita terlibat. Buku sejarah, telah menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar kita.
Namun, “Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda” bukanlah buku semacam itu. Ernst H. Gombrich, penulis buku tersebut, memang dengan sepenuh niat menulis buku yang tidak membosankan khususnya bagi pembaca muda. “Rasanya aku sanggup menulis buku seperti itu yang lebih bagus,” begitu katanya saat menyatakan kekurangtertarikannya pada buku sejarah untuk anak di Inggris. Maka kemudian, mulailah ia menulis buku sejarah yang menyenangkan untuk dibaca.
Dan, ya, apa yang menjadi harapannya tercapai: buku yang dalam Bahasa Jerman berjudul “Eine Kurze Weltgeschichte fur junge Leser” ini telah diterjemahkan ke dalam puluhan Bahasa sejak diterbitkan pertama kali pada 1936, meraup berbagai pujian dari pembaca di banyak dunia. Dan syukurnya, pembaca Indonesia mulai tahun 2015 sudah bisa membaca buku ini dalam Bahasa Indonesia.
Meskipun telah berusia lebih dari setengah abad, mengapa buku ini masih terus dibaca dan diapresiasi banyak orang?
Pertama, buku ini merangkum sejarah dunia dalam rentang waktu yang relatif panjang—5000 tahun—ke dalam 300an halaman. Sepanjang 40 bab (masing-masing bab berkisar 10 sampai 20an halaman saja) kita disuguhi kisah-kisah atau berbagai peristiwa penting di dalam sejarah, kisah yang merentang dari Asia, Afrika, maupun Eropa. Dan kisah-kisah itu dipilih berdasarkan pertimbangan memiliki pengaruh hingga saat ini. Misalnya, ketika menceritakan peradaban tua di Mesir, Mesopotamia, Romawi, hingga China, Ernst H. Gombrich menjelaskan perbedaan berbagai aspek peradabannya, bagaimana masing-masing peradaban tersebut mengembangkan tradisi tulis dan lambang tulisan atau huruf sendiri. Dan ternyata, huruf latin yang kita kenal sekarang kita warisi dari bangsa Fenisia, karena lambang tulisan bangsa yang lain—seperti hieroglif (tanda-tanda suci) Mesir dan kuneiform (tulisan paku) bangsa Ur di Mesopotamia—dinilai kurang efektif.
Selain itu, peristiwa-peristiwa sejarah tersebut dicari benang merahnya, bagaimana mereka saling mempengaruhi, dan sebagainya. Ada peristiwa yang mungkin tidak punya benang merah, tapi rasa-rasanya mengulang pola sejarah yang sama. Misalnya, dalam peradaban Islam dan China masing-masing memiliki tokoh-tokoh penguasa yang awalnya berambisi memperkuat wilayah dan kekuasaan meski harus menghancurkan warisan berharga semacam buku-buku penting. Di China, C’in Shih Huang Ti, kaisar China yang memulai pembangunan Tembok Besar, pernah memerintahkan pemberangusan kitab sejarah, dokumen lama, dan sebagainya, warisan era Lao Tzi dan Konghucu.
Kedua, yang membuat buku ini terus dibaca adalah cara penyajiannya yang menyenangkan: bercerita layaknya mendongeng. Model ini menjadi poin yang penting di dalam buku ini. Bayangkan, jika tidak disajikan dengan model penceritaan bak dongeng, barangkali buku ini tidak akan banyak dibaca dan tidak akan berumur panjang hingga saat ini.
Mari kita simak contoh cara berkisah buku ini dalam satu pembuka untuk bab 20, “Tiada Selain Allah, Muhammad Utusan Allah”: “Dapatkah kau membayangkan guru? Maksudku padang pasir sungguhan yang panas itu, yang dilalui kafilah unta yang membawa banyak barang langka. Yang kelihatan di mana-mana pasir melulu. Setelah berjam-jam perjalanan, baru kelihatan beberapa pohon palem jauh di cakrawala. Ke arah itulah kafilan bergerak. Di situ ada oasis, ada sumur dengan sedikit air yang keruh. Kafilah berangkat lagi. Akhirnya dicapainya oasis yang lebih besar, yang ada kotanya pula dengan rumah-rumah putih berbentuk kubus. Laki-laki penduduk kota berpakaian serba putih. Mereka berkulit sawo matang dan berambut hitam, dan mata mereka gelap dengan sorot mata yang tajam.”
Nah, sebagaimana kita bisa baca dari judul di atas, buku ini juga mengisahkan lahirnya tradisi-tradisi agama besar di berbagai belahan dunia: mulai dari agama ardhi maupun samawi. Lengkap!
Meskipun demikian, apa yang masih menjadi kekurangan, khususnya dalam konteks kita pembaca Indonesia?
Pertama, buku ini fokus pada peristiwa sejarah yang terjadi di Eropa—tentu saja ada juga perbincangan tentang sejarah Asia, tapi terbatas pada Asia Timur saja. Asia Tenggara nyaris tidak kita temukan. Tapi ini masih bisa kita maklumi, mengingat saat buku terbiat—1936—referensi tentang sejarah asia ‘minor’ masih belum banyak tersedia atau digali. Tapi Ernst Gombrich tetap berupaya adil dengan menghadirkan sejarah Eropa yang imbang.
Kedua, buku ini, khususnya pada bagian pertengahan buku, panjang lebar menceritakan peristiwa-peristiwa perang yang berlangsung di Eropa. Bagi pembaca yang kurang sabaran, barangkali akan melewatkan atau mempercepat bagian-bagian ini. Walaupun memang informasi-informasinya sangat menarik, di samping gambaran-gambaran nyaris sadis tentang pembunuhan, pembantaian, pengusiran, intrik, dan sebagainya.
Di luar semua ‘kekurangan’ di atas, buku ini masih tetap sangat layak dibaca dan didiskusikan. Karena Ernst Gombrich memberikan kesan hendak menyampaikan bahwa kita mesti sadar sejarah untuk menciptakan dunia yang lebih baik ke depan.
“Kita semua mengharapkan masa depan yang lebih baik, masa depan itu harus lebih baik! Sudahkah masa sekarang lebih baik? Akankah masa depan kita akan lebih baik?” begitu Ernst Gombrich mengakhiri bukunya.
Tambahkan Komentar