Readtimes.id– Selayaknya film, perjalanan sinema Tanah Air pun memiliki alur yang sejatinya perlu kita ketahui. Sama seperti menonton film, ketika layar bioskop mulai melebar, pertanda sebuah cerita akan dimulai. Bedanya, sebuah film bisa berakhir, namun perfilman kita tetap berjalan.
Namanya perjalanan tentu tak selamanya mulus. Perjalanan perfilman Indonesia dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka, masih dikenal sebagai Hindia Belanda.
Tepat pada 1926, Loetoeng Kasaroeng menjadi karya paling memorable. Film yang diusung dengan konsep bisu itu mampu menjadi awal perjalanan perfilman di Nusantara. Disutradarai orang Belanda (G.Kneleger dan L. Heuveldrop), film ini mampu menarik perhatian dan diterima masyarakat.
Kesuksesan Loetoeng Kasaroeng membuat membuat para sineas mengambil peruntungan dengan mengganti konsep bisu menjadi berbicara atau menggunakan dialog. Di antaranya adalah Botenga Roos (1931) hingga Indonesia Malaise (1931), walau film tersebut akhirnya memperoleh kritik negatif.
Memasuki era 1930 hingga 1940-an, film-film Indonesia belum terlepas dari dominasi Belanda dan Tionghoa. Walaupun film-film kala itu memotret Indonesia, tetap visual yang tersaji adalah persepsi Belanda yang kemudian berpadu dengan Tionghoa.
Perjalan tersebut kemudian sampai pada 1940-an, film Indonesia tersentuh intrik politik dengan adanya propaganda politik Jepang. Jelang kemerdekaan, Jepang masih berusaha memecah belah kesatuan Indonesia. Di tahun tersebut film yang diproduksi mengandung pesan-pesan ideologi yang kemudian memecah masyarakat jadi beberapa kelompok.
Kondisi tersebut berlanjut sampai pada era 1950-an. Hal ini mengusik beberapa tokoh, salah satunya yang sering kita kenal sebagai Bapak Perfilman Nasional, Usmar Ismail.
Dengan semangat yang tak pernah padam, Usmar Ismail melakukan upaya untuk tetap mempertahankan perfilman nasional. Upaya tersebut ialah dengan membangun panggung “Sandiwara” sebagai pengganti bioskop. Tujuannya, menarik para pelaku seni untuk tampil di sana.
Nyatanya, upaya tersebut tidak melulu membuahkan hasil positif. Bahkan, di era 1960-an perfilman Indonesia mengalami kondisi memprihatinkan. Dalam rentan waktu 1965 hingga 1969, Indonesia hanya mempublikasikan lima belas film.
Hal tersebut dikarenakan pemerintah belum menerapkan kebijakan impor film. Film luar yang begitu banyak masuk ke Indonesia tanpa ada proses pajak dan sensor terlebih dulu. Produksi film lokal menjadi redup dan antusiasme sebagian masyarakat menurun.
Redupnya perfilman Indonesia cukup lama. Bergulirnya masalah dalam negeri yang melibatkan isu-isu sensitif membuat pada pelaku industri film tidak berdaya. Minat untuk memproduksi film lokal rasanya tidak bisa dilakukan.
Barulah pada 1990-an hingga sekarang, perfilman Indonesia mulai berkembang seiring berjalannya waktu. Sebut saja Cinta dalam Sepotong Roti (1991) dan Ada Apa dengan Cinta (2000) ialah dua dari film Indonesia yang berhasil membangkitkan keterpurukan perfilman Indonesia.
Para pelaku sineas Indonesia kini sudah diperhitungkan di mata dunia. Beberapa film internasional menampilkan rupa pelaku seni Indonesia. Sebut saja Iko Uwais dalam Man of Tai Chi (2013), Star Wars: The Force Awakens (2015), hingga Mile 22 (2018). Panjang umur perfilman Indonesia!
1 Komentar