Dedy Ahmad Hermansyah
Judul : Semasa Kecil di Kampung
Penulis : Muhammad Radjab
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : November 2019
Tebal : 240 hlm
“Semasa Kecil di Kampung” adalah buku memoar yang memberikan gambaran dan informasi personal perihal praktik beragama di Minangkabau dan mengapa orang Minangkabau memiliki tradisi merantau yang kuat. Lewat kisah sehari-hari di lingkungan kecil sang penulis, Muhammad Radjab, di kampung Sumpur, kita akan memahami sistem sosial dan kultur apa yang memungkinkan orang Minangkabau terdorong untuk meninggalkan kampung halamannya, dan secara sosial dampak apa yang ditimbulkan oleh praktik beragama seperti poligami, pengajaran agama yang (dalam anggapan Rijal) kaku yang kadang menutup ruang diskusi yang lebih rasional.
Dorongan dan Tradisi Merantau orang Minangkabau
Sebagaimana kita tahu, masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal dalam mengatur garis keturunan keluarganya. Sistem yang berpusat pada perempuan sebagai garis keturunan ini ternyata, dalam memoar Radjab ini, turut memberi konsekwensi tersendiri pada tradisi merantau orang Minangkabau.
Penjelasannya seperti ini: seorang laki-laki yang menikah tentu saja akan mengikuti istrinya—bukan sebaliknya sebagaimana lazimnya dipraktikkan di daerah lain di Indonesia. Seorang perempuan dalam satu keluarga akan mendapatkan kamar tersendiri sebab dia akan menerima suaminya ketika telah menikah. Konsekwensinya, laki-laki yang menginjak usia remaja di dalam keluarga tersebut diharapkan untuk tidak selalu tinggal di rumah. Lalu ke manakah mereka?
Surau. Ya, surau. Surau ini ternyata memiliki fungsi yang sangat unik dalam masyarakat Minangkabau. Surau ini menjadi wadah pererat ikatan sosial. Di surau orang-orang beribadah dan mengaji. Di surau orang-orang berkumpul. Di surau kaum remaja dan dewasa pria datang membawa perkakas tidur. Di (halaman) surau mereka bermain bola dan berlatih pencak silat. Dan, ini yang perlu dicatat, di surau inilah kaum lelaki akan duduk manis menyimak kisah-kisah orang-orang kampung yang baru pulang dari perantauan tentang suka duka hidup di luar kampung. Momen menyimak kisah hidup merantau ini sekaligus jadi ajang konsultasi bagi mereka yang berminat merantau. Mereka akan diberikan saran ke mana saja baiknya pergi merantau jika punya jiwa dagang atau niaga, jiwa tukang, jiwa pembelajar dan sebagainya.
Ada konsekwensi sosial yang galib terjadi jika kaum lelaki tidak pergi merantau, yakni mereka tak akan ada yang ‘menjemput’. Istilah menjemput ini maksudnya ‘melamar’ atau berkaitan dengan jodoh dan perkawinan. Kaum lelaki yang tidak pergi merantau sangat besar kemungkinan tak akan dilirik oleh perempuan atau keluarga yang ingin menikahkan anak perempuannya (soal ini bersifat historis: semasa kaum bangsawan berkuasa, perempuan tertarik pada mereka yang berharta atau punya gelar bangsawan; kaum bangsawan ini pada gilirannya digeser oleh kekuasaan kaum beragama, sehingga turut mengubah pola ketertarikan perempuan kepada kaum bersorban; lalu lahirlah kaum saudagar yang berkompetisi dengan kaum agamawan, yang mengubah lagi ketertarikan kaum perempuan kepada mereka yang merantau).
Kritik sosial pengajaran dan praktik beragama serta poligami orang Minangkabau
Di samping kisah tentang kenakalan si Rijal bersama kawan-kawannya yang kerap mengundang senyum dan bahak, “Semasa Kecil di Kampung” ini rupanya menyimpan kritik sosial yang tajam pada pengajaran dan praktik beragama orang Minangkabau.
Simak saja kisah Rijal bersama sahabat karib, pengajar, dan penasihatnya: Lebai Saman. Lebai Saman sangat fanatic dalam beragama. Dialah yang mengatakan kepada Rijal bahwa matahari mengitari bumi, dan bumi datar, dipikul oleh seekor lembu, yang berdiri di atas sebuah batu, dan batu ini diatas seekor ikan, dan ikan di atas laut, dan laut di atas Hawa. Hal itu bertentangan dengan yang diajarkan guru Rijal di sekolah. Saat Rijal mengatakan bahwa bumi itu bulat, dan bumilah yang berputar mengelilingi matahari, Lebai Saman marah. “Guru itu salah, ajaran itu datang dari setan.”
Soal perbedaan pendapat ini sangat serius menimbulkan masalah dan konflik saat ia mengaji ke pamannya sendiri, saudara ayahnya, yang sebelas tahun mempelajari agama Islam di Makkah. Pamannya ini, bagi Rijal, sangat kaku dan menutup ruang debat saat diskusi.
Rijal sangat membenci pamannya. Sebab pamannya ini melarang hal-hal yang dia senangi, yang tak ada hubungannya dengan larangan agama. Misalnya, dia dilarang bermain bola lagi karena pamannya menganggap itu perbuatan sia-sia. Begini tanggapan Rijal, “…betapa juga, sepak bola jauh lebih menyehatkan badan dan pikiran daripada mengaji. Bagi saya, lebih menarik orang-orang yang bermuka merah, berucuran keringat, sehat dan tegap, daripada santri yang selalu bersila di surau, bermuka pucat dan kurus, seperti orang yang lima hari tidak makan, yang selalu lemah dan mengeluh.”
Pamannya ini pula yang menggelari dia kafir saat dia mendebat pamannya dalam perkara ajaran agama. Pangkalnya, menurut Rijal, pamannya memberikan ajaran takhayul dan tidak secara rasional. Ketika Rijal mempertanyakan hal itu secara rasional, di situlah dia disebut disebut kafir dan meragukan kehendak tuhan.
Praktik lain dalam beragama yang disoroti secara tajam oleh Rijal adalah poligami. Lazim sekali dalam masyarakat Minangkabau di kampungnya kaum agamawan yang dipanggil Engku itu memiliki istri banyak. Praktiknya, jika mereka telah memiliki empat istri—batas yang disyaratkan oleh aturan agama Islam—lalu ada satu keluarga yang ingin menyerahkan anak perempuannya ke Engku tersebut (sebab sangat erat keyakinan orang Minangkabau bahwa Engku bisa menjadi jembatan buat mereka ke surga), mereka tidak segan-segan menceraikan salah satu istri mereka untuk bisa mengambil satu istri lagi.
Praktik ini menimbulkan rantai konsekwensi sosial lain yang terjalin antara kaum perempuan yang menjadi istri laki-laki yang sama. Tak jarang mereka kerap saling menggunjing satu sama lain, atau lebih jauh menggunakan sihir atau susuk.
Atas hal ini, Rijal mengatakan, “Jarang sekali orang kampung saya kawin karena cinta. Mereka kawin selalu dengan orang yang bukan pilihannya sendiri. Yang mencarikan jodoh ialah orangtuanya. Jika pilihan orangtuanya bagus, artinya orang yang pantas dicintainya, beruntunglah mereka; jika tidak, menderitalah.”
Dedy Ahmad Hermansyah. Peneliti lepas dan pustakawan di Komunitas Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Tambahkan Komentar